Jepang bahkan sudah mengembangkan sagu sebagai obat diabetes."
Jakarta (ANTARA News) - Sebagian besar warga Indonesia merasa belum makan kalau belum makan nasi.

"Saya belum makan nih, cuma baru makan roti dan ubi rebus," begitu kalimat yang mungkin sering terdengar dan diucapkan.

Begitu bergantungnya mayoritas bangsa Indonesia terhadap bahan pangan yang disebut nasi atau beras, sampai-sampai yang kita sebut makan itu kalau sudah makan nasi dan lauk pauknya.

Padahal, ada yang menyebutkan konsumsi nasi yang terlalu berlebihan membawa dampak negatif.

British Medical Journal menyebutkan orang Asia dianggap berisiko tinggi terkena diabetes tipe 2 karena cenderung memiliki asupan jauh lebih tinggi untuk mengonsumsi nasi dibanding orang Barat. Rata-rata, orang Asia mengonsumsi nasi tiga hingga empat porsi sehari.

Menurut para peneliti, efek negatif nasi terhadap gula darah disebabkan indeks glikemik yang tinggi. Indeks glikemik merupakan ukuran seberapa cepat glukosa dilepaskan dalam aliran darah setelah makan.

Makanan dengan indeks glikemik rendah membuat seseorang merasa kenyang lebih lama dan menjaga kadar gula darah lebih stabil.

Di sisi lain, nasi putih juga memiliki nutrisi yang lebih sedikit termasuk serat dan magnesium yang dapat mencegah diabetes tipe 2.

Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Kementerian Pertanian Rudy Tjahjohutomo mengatakan beras memang kurang sehat apabila dimakan terlalu banyak.

"Indikasinya, bisnis rumah sakit terus di Indonesia terus berkembang dan menguntungkan. Mayoritas orang Indonesia makan beras dan sering sakit," kata Rudy.

Rudy mengatakan usia harapan hidup antara orang Indonesia bagian barat dan timur juga berbeda. Orang Indonesia bagian barat yang makanan pokoknya beras, usia harapan hidupnya lebih rendah dibandingkan orang Indonesia bagian timur yang makanan pokoknya sagu.

"Ada semacam rice food trap atau jebakan pangan beras. Selama ini kita memang dipaksa makan beras. Kalau beras tidak ada, akhirnya harus impor," tuturnya.

Potensi sagu
Padahal, kata Rudy, sagu memiliki potensi luar biasa apabila dikembangkan secara optimal.

Sayangnya, masih belum banyak industri yang tertarik untuk mengolah sagu sehingga bahan pangan tersebut dianggap kalah kelas dibandingkan bahan pangan lain seperti beras.

"Sagu selama ini selalu dianggap sebagai bahan pangan inferior, Karena itu, sagu harus kita angkat dan kembangkan supaya bisa naik kelas," ujarnya.

Rudy mengatakan sagu juga termasuk bahan pangan dengan indeks glikemik rendah sehingga aman dikonsumsi oleh penderita diabetes.

Karena memiliki indeks glikemik rendah, sagu cepat mengenyangkan dan tahan lama tapi tidak menyebabkan kegemukan.

Mantan Gubernur Irian Jaya Freddy Numberi mengatakan masyarakat Indonesia timur seperti Maluku, Papua dan Papua Barat yang mengonsumsi sagu relatif sedikit yang menderita diabetes.

"Jepang bahkan sudah mengembangkan sagu sebagai obat diabetes," ujar Fredy yang juga mantan menteri perhubungan dan menteri kelautan dan perikanan itu.

Freddy mengatakan masyarakat Papua terkesan dipaksakan untuk mengkonsumsi beras oleh pemerintah Orde Baru.

"Padahal makanan utama orang Papua adalah sagu yang kaya manfaat. Sewaktu saya jadi gubernur, tidak ada nasi yang dihidangkan di atas meja. Semuanya harus sagu," katanya.

Dia mengatakan diversifikasi bahan pangan seperti sagu diperlukan untuk mencapai ketahanan pangan nasional.

Menurut Freddy, dia sudah beberapa membicarakan potensi sagu dengan Presiden tetapi belum ada hasil yang memuaskan.

Freddy menuturkan sagu bagi masyarakat Papua memiliki karakter yang berbeda dibandingkan beras.

"Apabila beras harus ditanam di sawah, sagu bagaikan sudah diberikan oleh Tuhan karena banyak tanaman sagu yang tumbuh meskipun tanpa ditanam," katanya.

Namun, saat ini hutan sagu sudah mulai berkurang karena banyaknya alih fungsi lahan untuk permukiman karena belum ada rencana tata ruang yang jelas.

Karena itu, Freddy mendesak pemerintah untuk membentuk Dewan Ketahanan Pangan Nasional hingga kabupaten dan kota untuk mempertahankan lahan-lahan pangan seperti hutan sagu yang ada di Papua.

"Dewan ketahanan pangan harus membuat zonasi yang jelas untuk lahan pangan. Saya mengusulkan adanya lahan sagu abadi yang diatur dalam peraturan daerah sehingga siapa pun yang menjabat tidak boleh memberikan izin alih fungsi," tuturnya.

Terbesar di dunia
Pakar agronomi Institut Pertanian Bogor Prof Bintoro mengatakan Indonesia adalah penghasil sagu terbesar di dunia karena 60 persen bahan pangan itu ada di Indonesia, terutama Papua dan Papua Barat.

"Hasil observasi Unit Percepatan Pengembangan Papua dan Papua Barat (UP4B), luas lahan sagu di dua provinsi itu mencapai 5,2 juta hektare, tapi 2,1 juta hektare sudah diizinkan untuk alih fungsi," katanya.

Bintoro mengatakan sagu di Papua dan Papua Barat hanya digunakan sebagai makanan pokok saja.

Tanaman sagu yang dipanen hanya yang di pinggir sungai atau jalan saja karena orang Papua kesulitan memanen sagu yang ada di dalam hutan.

Tanaman sagu yang dipanen adalah yang belum berbunga dan berbuah. Sebab, pohon sagu yang sudah berbunga dan berbuah tidak lagi mengandung pati karena sudah diubah menjadi bunga dan buah.

"Ribuan pohon sagu dibiarkan berbuah dan berbunga, berarti tidak dipanen. Di sisi lain, Indonesia masih terus mengimpor beras dan gandum, padahal sagu dapat menggantikan bahan pangan itu," tuturnya.

Bintoro mengatakan pati sagu dapat digunakan untuk membuat roti, kue kering, biskuit, kerupuk, pempek, bakso dan mie.

Selama ini, makanan-makanan tersebut dibuat dari tepung gandum yang masih diimpor seluruhnya oleh Indonesia.

"Pati sagu juga dapat dijadikan gula cair yang bisa digunakan industri makanan dan minuman. Indonesia saat ini juga masih mengimpor gula dalam jumlah besar," ujarnya.

Menurut Bintoro, pati sagu juga bisa diolah menjadi bioetanol dan etanol untuk pengganti bensin. Kebutuhan bensin untuk Papua dan Papua Barat dapat dicukupi bila bensin digantikan dengan etanol.

Saat ini, harga bensin di stasiun pengisian bahan bakar resmi sama dengan harga di bagian Indonesia lainnya. Namun, stasiun pengisian bahan bakar hanya ada di kota-kota besar Papua.

Lebih Besar
Bintoro mengatakan potensi produksi sagu juga lebih besar dibandingkan beras. Untuk menghasilkan 30 juta ton beras per tahun, diperlukan lahan seluas 12 juta hektare. Sedangkan untuk menghasilkan 30 juta ton sagu hanya diperlukan lahan seluas satu juta hektare.

"Karena itu, dengan luas lahan lima juta hektare yang ada di Papua dan Papua Barat saja bisa dihasilkan 150 juta ton pati sagu. Jumlah itu bisa untuk memberi makan satu miliar orang," katanya.

Bintoro mengatakan untuk memaksimalkan potensi produksi sagu, maka hutan sagu harus ditata menyerupai perkebunan dengan memangkas pohon-pohonnya dengan jarak yang teratur, yaitu delapan meter.

Bintoro mengatakan tanaman sagu memiliki banyak anakan dan membentuk rumpun. Secara alami hanya sebagian kecil anakan yang dapat tumbuh dan mengandung pati karena setiap anakan berkompetisi mengambil hara dari tanah, air dan oksigen.

Karena itu, agar pertumbuhannya cepat dan memiliki kadar pati tinggi, maka jarak rumpun yang ideal adalah setiap delapan meter dengan hanya 10 tanaman berbagai umur dalam satu rumpun.

Dengan jarak tersebut, maka setiap hektare lahan terdapat 156 rumpun sagu. Dalam setahun, katakanlah sagu yang bisa dipanen 100 pohon, dan bila setiap pohon menghasilkan 200 kilogram hingga 400 kilogram, maka setiap hektare dapat menghasilkan 20 ton hingga 40 ton pati sagu kering.

Dengan penataan hutan sagu menjadi perkebunan, maka setiap rumpun dapat dipanen setiap tahun dan tanaman tidak pernah habis karena setiap tahun muncul anakan baru. Namun, hanya satu anakan yang dipelihara setiap tahun.

Konservasi Air
Bintoro mengatakan sagu tumbuh di rawa atau lahan becek dan berair. Karena itu, sagu selalu hidup berdampingan dengan air. Budidaya sagu sama artinya dengan mempertahankan atau konservasi air.

"Kawasan sagu juga akan selalu hijau sehingga dapat juga berfungsi sebagai paru-paru dunia karena menyerap karbondioksida dan menghasilkan oksigen. Jadi air tetap tertampung dan oksigen terus dihasilkan," katanya.

Pembudidayaan sagu juga dapat dilakukan bersamaan dengan budidaya perikanan dan peternakan. Bintoro mengatakan tanah diantara rumpun sagu yang berawa dapat digunakan untuk budidaya ikan rawa.

"Ikan-ikan tersebut juga akan memangsa jentik-jentik nyamuk sehingga populasi nyamuk berkurang dan secara tidak langsung mengurangi penyakit malaria," tuturnya.

Ampas sagu juga dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan media tumbuh jamur selain dijadikan kompos atau pestisida nabati.

Sementara itu, sisa batang sagu merupakan media yang baik bagi kumbang yang ulatnya biasa dimakan masyarakat di kawasan sagu.

Karena itu, apabila tanaman sagu bisa dibudidayakan secara optimal, maka akan banyak manfaat yang bisa didapat.

Selain memperkuat ketahanan pangan nasional, tanaman sagu juga bisa menjadi sumber energi alternatif dan konservasi air serta oksigen.

Oleh Dewanto Samodro
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014