Serpong (ANTARA News) - Indonesia termasuk kawasan "supermarket bencana" karena begitu banyak potensi serta jenis bencana alam dan bencana sosial meski Indonesia dianggap cukup baik dalam penanggulangannya, kata Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Kominfo Freddy H Tulung

"Buktinya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendapat anugerah Global Champion for Disaster Risk Reduction dari Sekjen PBB," kata Freddy di Serpong, Banten, Jumat, terkait rencana penyelenggaraan Asia Media Summit on Climate Change (CC), ICTs and Disaster Risk Reduction (DRR) di Jakarta 4-6 Juni 2014.

Menurut Freddy banyak bencana di Indonesia karena faktor alam atau hidrometeorologi (bencana terkait cuaca), termasuk dampak dari perubahan iklim.

Di Indonesia terdapat 500 gunung api, yang 129 di antaranya aktif.

"Dalam satu dekade terakhir terjadi 10.648 bencana alam di Indonesia akibat banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, kekeringan, gempa, dan tsunami. Jumlah korban jiwa sekitar 274.000 orang," katanya.

Dalam Asia Media Summit tersebut akan dibahas peran media dalam melaksanakan edukasi publik tentang perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana. Para pimpinan, pengelola, jurnalis, produser, editor dari berbagai media di Asia Pasifik akan hadir.

Freddy menilai pemberitaan media ketika terjadi bencana cenderung melihat sisi dramatik dan traumatiknya. "Media menjadi sosok pembawa teror informasi," tegasnya.

Hal itu, katanya, karena liputan yang menimbulkan trauma bagi warga, seperti tayangan korban bergelimpangan atau berita spekulasi akan datangnya bencana susulan yang lebih besar tanpa melibatkan narasumber yang kredibel dan relevan.

"Masih sangat minim pemberitaan atau informasi terhadap fenomena perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana," katanya lagi.

Sementara itu Direktur Pemberitaan LKBN Antara Akhmad Kusaeni mengamini pernyataan Freddy.

Media, kata Akhmad Kusaeni, masih abai dalam pemberitaan perubahan iklim, pemanasan global, dan upaya-upaya internasional dalam menanggulanginya.

"Perubahan iklim dan pemanasan global merupakan isu berat yang para wartawannya sendiri terkadang kurang faham. Jadi wartawan ambil enaknya saja: memberitakan saja bencana alam yang memang dramatik seperti pencarian korban, dampak kerusakan, dan kerugian yang ditimbulkan," katanya.

Bahkan kadangkala laporan wartawan sudah kebablasan. "Sudah tahu korban megap-megap tertimbun tanah longsor, masih ditanya apa yang ibu rasakan," katanya.

Di Jepang saat terjadi bencana nuklir di Fukushima sama sekali pemberitaannya tidak ada tangis dan air mata. "Media memberitakan hal-hal positif yang membangkitkan semangat dan solidaritas masyarakat, bukannya mayat-mayat bergelimpangan dan isak tangis," demikian Akhmad Kusaeni.

Pewarta: Teguh Handoko
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2014