Flores Timur, NTT (ANTARA News) - Cuaca Sabtu malam itu cerah. Bintang-bintang berpendar bagai lampu hias yang menggantung di langit. Terasa dekat sekali.

Malam itu Kapal Layar Motor FRS Menami membuang sauh di Tanjung Hading, perairan Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Beberapa kali kapal seperti mengayun, mengikuti gelombang air.

Kapal yang didatangkan dari Wakatobi, Sulawesi Tenggara itu sudah sekitar dua minggu mengelilingi perairan Pulau Solor, Pantar, Alor, hingga menembus arus kencang di Timur Alor untuk mengiringi misi ekspedisi Pemantauan Terumbu Karang untuk Evaluasi Dampak di Alor dan Flores Timur.

Ekspedisi yang baru dilakukan perdana ini bertujuan mengumpulkan data dasar dari kondisi terumbu karang dan populasi ikan di perairan Alor dan Flores Timur.

Namun ada yang berbeda malam itu. Tepat pukul 20.30 WITA, lampu di kapal satu persatu dimatikan. Para awak kapal tidak mau ketinggalan menyemarakkan kampanye global Earth Hour yang berlangsung hari ini.

Tim ekspedisi yang terdiri dari perwakilan organisasi konservasi World Wide Fund for Nature (WWF), Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia, Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Alor dan Kabupaten Flores Timur itu menuju anjungan Kapal.

Setiap orang memegang lilin untuk menikmati sensasi tanpa listrik sebagaimana serentak dilakukan di seluruh penjuru dunia, pada pukul 20.30 hingga 21.30 waktu setempat.

Lilin-lilin menyala di kegelapan kapal dalam deburan suara gelombang air dan hembusan angin. Beberapa kali, tim harus memantik korek karena api di lilin dilalap angin cukup kencang.

Sisa waktu Earth Hour, beberapa orang kembali menjalani aktivitas masing-masing di kapal. Beberapa lainnya duduk-duduk seraya berbincang.

"Earth Hour sebenarnya bukan hanya tentang mematikan semua lampu selama satu jam. Tetapi itu sebagai langkah awal untuk mengubah gaya hidup ke depan. Artinya jika dalam 60 menit kita bisa menghemat banyak energi, bayangkan kalau diterapkan dalam kehidupan sehari-hari," kata Media Relation WWF Noverica Widjojo kepada Antara usai peringatan Earth Hour di Kapal Menami.

"Mari kita biarkan bumi bernafas," tambahnya.

Earth Hour pertama kali diselenggarakan pada 2007 di Sydney, Australia. Kemudian, 7.000 kota kecil dan kota besar di dunia termasuk Indonesia mulai turut serta sejak 2008.

Earth Hour adalah simbol komitmen untuk menyelamatkan Bumi, mengingatkan orang yang sudah tergantung kepada listrik agar menjadi pengguna listrik yang bijak, dan mengajak orang untuk memulai gaya hidup hemat energi.

Jika selama satu jam saat Earth Hour kita bisa menjalani aktivitas tanpa listrik, artinya bukan tidak mungkin kita meminimalkan penggunaan listrik dengan seperlunya setiap hari sehingga Earth Hour bukan sekadar perayaan tanpa listrik setiap tahun, namun menjadi momen renungan bagi manusia.

Earth Hour membuat kota-kota menekan penggunaan listrik secara signifikan.

Pada Earth Hour 2012, PLN mencatat penurunan beban puncak listrik secara nasional hingga 575 Megawatt atau menghemat Rp900 juta, sementara pada Earth Hour 2013, beban puncak listrik di Jakarta turun 236 Megawatt, kendati secara nasional naik 1.236 Megawatt.

Tahun ini, partisipan kampanye Earth Hour naik menjadi 34 kota di Indonesia mulai Banda Aceh hingga Sorowako di Sulawesi Selatan dan Ambon di Maluku.

PLN dapat menghemat listrik hingga 5.300 megawatt dengan catatan seluruh pelanggan listrik di Indonesia aktif dalam kegiatan Earth Hour atau total penghematan listrik 5,3 miliar watt dengan asumsi satu pelanggan hemat 100 watt.

Namun yang lebih penting, jika peghematan listrik dilakukan setiap hari, oleh setiap orang, maka tak terbayangkan berapa energi yang dijaga.

Satu jam pun berlalu. Hanya beberapa lampu di Kapal Menami yang dinyalakan. Kapal nan temaram ini pun nyaris raib dipeluk gelapnya perairan Flores Timur. 

Oleh Monalisa
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2014