Kami sungguh ingin belajar dari Indonesia."
London (ANTARA News) - Wakil Menteri Luar Negeri untuk Urusan Kerjasama Bilateral Bosnia dan Herzegovina, Amer Kapetanovic mengatakan keinginan negaranya untuk belajar mengenai Pengelolaan Pluralisme dari Indonesia.

Keinginan Bosnia dan Herzegovina yang ingin belajar mengenai Pengelolaan Pluralisme dari Indonesia diungkapkan Amer Kapetanovic saat menerima Delegasi Lintas Agama (Interfaith) Indonesia yang dipimpin Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Indonesia Prof. Dr. Abdul Djamil, demikian Kasi Budaya, Direktorat Diplomasi Publik, Kemenlu RI, Purno Widodo kepada Antara London, Selasa.

Menurut Amer Kapetanovic, Dialog lintas agama (DLA) merupakan hal penting untuk dilakukan guna mengelola berbagai kepercayaan yang ada, dan Indonesia harus mengajari kami bagaimana menangani pluralism budaya dan agama.

"Kami sungguh ingin belajar dari Indonesia," ungkap Amer Kapetanovic saat menerima Delegasi Lintas Agama (Interfaith) Indonesia yang dipimpinoleh Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Indonesia Prof. Dr. Abdul Djamil.

Menanggapi hal itu Dubes RI untuk Bosnia dan Herzegovina, Subijaksono Sujono yang mendampingi Delegasi Indonesia menyampaikan Indonesia siap bertukar pengalaman dengan Bosnia dan Herzegovina dalam mengelola kemajemukan terutama kemajemukan budaya dan agama.

Agama merupakan salah satu aset penting yang menjadi perhatian Pemerintah Indonesia walaupun Negara Indonesia bukan berdasarkan agama, dan tujuan kedatangan Delegasi Interfaith Indonesia ke Bosnia dan Herzegovina salah satunya adalah untuk berbagi pengalaman bagaimana Indonesia menangani kemajemukan yang ada, ujar Dubes Sujono.

Hal lain yang menjadi perhatian Wamenlu Kapetanovic adalah bagaimana Indonesia memberikan kebijakan hari libur pada hari-hari besar agama. Hal yang dilakukan Pemerintah Bosnia dan Herzegovina adalah memberikan hari libur saat ada perayaan hari besar agama kepada pemeluk agama saja. Libur tidak diberikan kepada pemeluk agama lain yang tidak merayakannya.

Ketua Delri Prof. Djamil menyatakan Pemerintah Indonesia memberikan kebijakan libur nasional untuk perayaan hari-hari besar keagamaan sehingga seluruh masyarakat dapat merayakannya, bukan hanya pemeluknya.Pemerintah Indonesia bahkan memberikan hari libur nasional saat hari raya Imlek datang, walaupun penganut Konfusiunisme di Indonesia hanya sebanyak 0,5 persen dari jumlah penduduk, tegas Prof Djamil menambahkan kebijakan libur nasional maka pemeluk agama yang merayakan hari raya keagamaan merasa dihormati dan dihargai.

Bosnia dan Herzegovina merupakan sebuah negara di Semenanjung Balkan di selatan Eropa. Bosnia dan Herzegovina menyatakan kemerdekaannya melalui Referendum tahun 1992 menyusul pecahnya Yugoslavia menjadi beberapa wilayah setelah runtuhnya rezim-rezim Komunis di Eropa Timur tahun 1991.

Pemerintahan Negara Bosnia dan Herzegovina berdasarkan sistem Presidensi yang terdiri dari tiga presiden yang mewakili masing-masing etnis yang ada yaitu Etnis Bosniak (mayoritas Islam), etnis Croatia (mayoritas Katolik) dan etnis Serbia (mayoritas Kristen Ortodok).

Lembaga Presidensi mempunyai peran penting dalam pembuatan berbagai kebijakan, namun karena prosesnya harus berdasarkan konsensus dimana masing-masing presiden mempunyai hak veto maka sulit bagi lembaga ini untuk membuat kebijakan yang solid dan terbebas dari kepentingan etnis.

Keniscayaan ini salah satunya yang mendorong Pemerintah Indonesia menjalankan misi Dialog Lintas Agama (Interfaith Dialog) ke Bosnia dan Herzegovina.

Dialog Lintas Agama penting untuk dilakukan guna mempromosikan sikap toleransi, saling menghormati dan saling pengertian diantara masyarakat yang majemuk. Hal ini juga dilakukan untuk meningkatkan kerjasama antara Indonesia dan Bosnia dan Herzegovina, demikian dijelaskan Dubes Sujono.

Delegasi interfaith Indonesia terdari unsur Kementerian Agama, Kementerian Luar Negeri, Tokoh Agama Islam Prof. Dr. Faisal Ismail, tokoh Agama Katolik Pastor Agustinus Ulahayanan dan tokoh pendidikan Prof. Dr. Azyumardi Azra. Kegiatan DLA dengan Bosnia dan Herzegovina yang berlangsung dari tanggal 16 hingga 18 April lalu

Pertemuan dan dialog dengan pimpinan agama setempat dan juga dengan berbagai Instansi Pemerintah seperti Kementerian Luar Negeri dan Kementerian HAM dan Pengungsi, pemberian Kuliah Umum di Universitas Sarajevo, serta kunjungan ke berbagai pusat peribadatan seperti Masjid, Gereja, dan Sinagok.

Salah satu masjid yang dikunjungi adalah Masjid terbesar di Sarajevo yaitu Masjid Istiqlal Sarajevo yang biasa disebut juga Masjid Indonesia. Dalam situs Islam Bosnia disebutkan dengan jelas bahwa Masjid ini adalah hadiah dari Pemerintah dan Bangsa Indonesia untuk kaum Muslim Bosnia.

Pembangunan Masjid ini dimulai oleh Presiden Soeharto pada kunjungannya ke Sarajevo tahun 1995 dan diresmikan pada tahun 2001 pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.

Masjid dibangun di atas tanah seluas hampir 2.800 meter persegi dilengkapi dua menara kembar setinggi 48 meter sebagai simbol persahabatan kedua negara Indonesia dan Bosnia dan Herzegovina. (ZG)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014