Jakarta (ANTARA News) - Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, Kamis, mengatakan, RUU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah disusun lebih bertaring dengan menerapkan sanksi bagi kepala daerah yang membangkang peraturan.

"Dalam revisi UU itu, kami mencoba mengajukan berbagai konsep terkait pengaturan sanksi. Hal (sanksi) itu yang sedang dibahas Dirjen Otda dengan DPR RI," kata dia, usai membuka Seminar Nasional Hari Otonomi Daerah XVIII, di Jakarta.

Pengaturan sanksi terhadap kepala daerah tersebut disusun karena dalam UU Pemda saat ini Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kemendagri, tidak memiliki kewenangan langsung terhadap daerah.

"Di Undang-Undang yang sekarang tidak ada ruang bagi Pemerintah Pusat untuk langsung memberikan sanksi kepada gubernur, bupati dan walikota," kata mantan gubernur Sumatera Barat itu.

Mekanisne yang berjalan selama ini, jika ada kepala daerah yang melanggar peraturan dan etika, penyelesaiannya melalui DPRD kemudian diusulkan ke Mahkamah Agung melalui pengadilan tinggi di daerah tersebut.

Hal itu, menurut Gamawan, bertentangan dengan semangat desentralisasi yang ada di Indonesia.

"Padahal, kita menjalankan desentralisasi di Negara Kesatuan RI ini. Kewenangan itu diserahkan dari Pusat kepada daerah, bukan dimiliki sepenuhnya seperti di negara federal," jelasnya.

Sementara itu, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan mengatakan konsep pemberian sanksi setidaknya ada tiga tahap, bagi kepala daerah yang membangkang.

Pertama, kepala daerah yang tidak mengikuti peraturan perundangan bisa diberi sanksi teguran oleh pejabat atasannya. Kedua, sanksi yang diberikan bisa berupa pemberhentian sementara.

"Ketiga, ini yang paling keras, adalah sanksi pemberhentian tetap kepada kepala daerah yang tidak menaati peraturan," kata Djohermansyah.

Dia menambahkan dalam pelaksanaannya nanti, akan diberikan kesempatan perbaikan bagi kepala daerah yang tidak terima terhadap pemberian sanksi tersebut.

Dengan pengaturan sanksi di RUU tersebut, diharapkan ketidakpatuhan kepala daerah, khususnya di tingkat kabupaten-kota, dapat diminimalisir.

"Jadi walaupun kepala daerah dipilih langsung oleh masyarakat, bukan berarti dia tidak bisa diberhentikan," ujar Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri itu. 

Pewarta: Fransiska Ninditya
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2014