Washington (ANTARA News) - Tim peneliti internasional berhasil mengurai kode genetik lalat tsetse, serangga penghisap darah penyebar penyakit tidur Afrika yang mematikan, dan berharap bisa menggunakan rahasia biologis lalat itu untuk membasmi penyakit tidur.

Genom lalat tsetse ukurannya dua kali dari genom lalat buah tapi hanya sepersepuluh dari genom manusia. Lalat tsetse punya sekitar 12.000 gen dan 366 juta kode genetik.

Gigitan lalat itu mengandung mikroorganisme parasit yang menyebabkan penyakit tidur di Sub-Sahara Afrika dan satu bentuk penyakit pada binatang yang bisa menghancurkan kawanan ternak.

Perunutan genom lalat tsetse mengunjukkan landasan molekuler dari biologinya yang aneh: melahirkan nyamuk muda dan bukan bertelur seperti serangga yang lain; memberi makan larva dalam uterusnya dengan satu bentuk susu; tertarik pada warna biru dan hitam; dan hanya makan darah.

Temuan cetak biru genetik lalat itu merupakan puncak dari upaya satu dekade bernilai jutaan dolar AS yang melibatkan lebih dari 140 ilmuwan dari 78 lembaga riset di 18 negara.

Para ilmuwan optimistis cetak biru genetik lalat itu bisa mengarah ke penemuan cara baru untuk memerangi lalat tsetse, seperti penemuan bahan kimia yang bisa mempengaruhi proses reproduksinya, atau cara untuk memperbaiki jebakan untuk membunuh lalat itu.

"Seperti penemuan yang lain, akan ada petunjuk baru yang bisa kita lihat sekarang. Saya optimistis aspek biologi unik lalat tsetse akan membawa kita ke metode baru untuk memerangi penyakit," kata salah satu peneliti, Daniel Masiga, ahli biologi molekuler dari International Centre of Insect Physiology and Ecology di Kenya.

"Jika bisa datang dengan penghambat reproduksi tsetse spesifik yang tidak bisa meracuni mamalia, itu akan ideal," tambah peneliti yang lain, ahli biologi Geoffrey Attardo dari Yale School of Public Health, seperti dilansir kantor berita Reuters.


Misteri

Lalat tsetse telah menjadi misteri bagi manusia selama beribu-ribu tahun. Mereka sudah ada jauh lebih lama dari manusia. Satu fosil lalat tsetse yang ditemukan di Colorado misalnya, berasal dari masa 34 juta tahun lalu.

Penyakit tidur Afrika, yang juga disebut trypanosomiasis, adalah penyakit tropis yang menyebar luas di seluruh wilayah sub-Sahara Afrika dan bisa berakibat fatal jika tidak segera mendapat penanganan.

Pada binatang, lalat itu membawa penyakit yang disebut nagana. Ini menyebabkan kerugian miliaran dolar AS dan memaksa para peternak memelihara ternak-ternak kurus yang menghasilkan lebih sedikit susu dan daging tapi tahan parasit, kata peneliti penyakit tropis Matthew Berriman dari Wellcome Trust Sanger Institute di Inggris.

Lalat itu tidak terlahir dengan parasit tapi menelannya ketika menggigit orang atau binatang yang terinfeksi saat menghisap darah untuk makan. Lalat itu menyebarkan parasit lewat saliva ketika menggigit korban yang lain.

Parasit itu menyebabkan penyakit tidur, yang pada tahap lanjut menyerang sistem syaraf pusat dan menyebabkan perubahan jam biologis (ritme sirkadian), perubahan kepribadian, kebingungan, bicara cadel, kejang serta kesulitan untuk berjalan dan bicara.

"Penyakit tidur mengancam jutaan orang di 36 negara sub-Sahara Afrika," kata John Reeder, yang memimpin program riset dan pelatihan penanganan penyakit tropis di Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO).

"Banyak dari populasi terdampak hidup di daerah pedalaman dengan akses terbatas ke fasilitas kesehatan memadai, yang memperumit pemantauan serta diagnosis dan penanganan kasus," tambah dia.

Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai upaya kesehatan masyarakat dilakukan untuk memangkas kasus dan kematian akibat penyakit itu.

WHO menyatakan penyakit itu "sudah memasuki fase eliminasi." Menurut data WHO, ada 5.967 kasus yang dilaporkan tahun lalu, jauh lebih rendah dibandingkan jumlah kasus tahun 2000 yang mencapai 26.574.

Kini upaya pencegahan penyakit difokuskan pada pengendalian populasi lalat karena menurut pemikiran para ahli penggunaan vaksin tidak akan memungkinkan mengingat parasit itu menghindari sistem kekebalan tubuh mamalia.

Penyakit tidur menyebabkan jauh lebih sedikit infeksi dan kematian dibandingkan penyakit tropis lain yang menular melalui gigitan nyamuk seperti malaria dan dengue.

Pada nyamuk, hanya yang betina yang menghisap darah dan menggunakan proteinnya untuk bertelur. Sementara lalat tsetse, baik yang jantan maupun betina menghisap darah untuk makanannya.

Dalam hasil studi yang dipublikasikan dalam jurnal Science, para ahli mengatakan lalat tsetse juga lebih mudah disasar ketimbang nyamuk.

Dalam satu hal, nyamuk betina bisa menghasilkan lebih dari 100 telur sekali bertelur sementara tsetse lebih lambat menggandakan populasi karena mereka hanya melahirkan satu larva dalam satu siklus reproduksi.

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2014