Dengan Puisi, Aku
Dengan puisi aku bernyanyi, sampai senja umurku nanti
Dengan puisi aku bercinta, berbatas cakrawala
Dengan puisi aku mengenang, keabadian yang akan datang
Dengan puisi aku menangis, jarum waktu bila kejam meringis
Dengan puisi aku mengutuk, nafas zaman yang busuk
Dengan puisi aku berdoa, perkenankanlah kiranya

(1965, Taufiq Ismail)

Demikian untaian puisi yang menyambut para pengunjung di gerbang Rumah Puisi Taufiq Ismail di Padang Panjang, Sumatera Barat.

Kutipan puisi lain karya sastrawan Indonesia dan seluruh dunia terpampang di sepanjang pintu masuk area tersebut, membangkitkan naluri kesusastraan siapa saja yang datang.

Bangunan Rumah Puisi berdinding kaca, dengan bunga warna warni di sekeliling, dan pemandangan perbukitan hijau melingkupinya.

Ada dua ruang di Rumah Puisi yang dibangun dari kocek pribadi Taufiq Ismail tersebut, ruang diskusi di bagian bawah dan perpustakaan atau ruang membaca di bagian atas.

Spanduk berisi kutipan-kutipan tokoh dunia tentang buku menghiasi ruang diskusi, seperti kutipan penulis asal Amerika Vincent Starrett, "Kalau Ada Uang Sedikit, Saya Beli Buku. Kalau Masih Bersisa, Saya Belikan Makanan dan Pakaian".

Ada pula kutipan seorang cendikiawan Inggris Heathcote William Garrod, "Kehidupan Menggoncang dan Menggoyang Kita, Buku Sastra Menstabil dan Mengukuhkan Kita".

Sementara di perpustakaan, berjejer rak-rak buku berukuran besar yang menyimpan sekitar tujuh ribu buku koleksi Taufiq Ismail, sebagian besar buku sastra dan selebihnya adalah buku agama, sosial dan politik dari berbagai belahan dunia.

"Pak Taufiq senang mengoleksi buku. Umumnya buku sastra, yang ditulis dengan bahasa Indonesia, Jerman, ada juga yang berbahasa Rusia," ujar Manajer Rumah Puisi Taufiq Ismail, Silliawahyulli, yang biasa dipanggil Isil.

Menurut Isil, setiap pekan ada 15 hingga 20 orang yang mengunjungi Rumah Puisi selain 30 siswa sanggar yang rutin datang setiap Jumat untuk belajar membaca dan menulis puisi.

"Selain menulis puisi, mereka diajarkan tentang musikalisasi puisi. Karena membaca puisi caranya macam-macam, ada yang seperti bercerita, ada yang diiringi musik dan dinyanyikan," ujar Isil.

Selain itu, Rumah Puisi juga kerap menerima kedatangan rombongan guru dari Sumatera Barat yang ingin  mengikuti pelatihan membaca dan menulis karangan, termasuk puisi.

"Kadang-kadang, guru menuntut siswanya harus bisa menulis dan membaca puisi, tapi sebenarnya mereka sendiri tidak bisa. Nah, di sini mereka bisa memperdalam ilmu tersebut," kata Isil.


Fakta membaca

Di ruang diskusi Rumah Puisi, para pengunjung akan mengetahui fakta mengejutkan tentang frekuensi membaca buku sastra anak-anak Sekolah Menengah Atas (SMA) di 13 negara sejak 1986 hingga 2008 hasil penelitian Taufik Ismail.

Siswa SMA di Thailand Selatan, Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam wajib membaca lima hingga tujuh buku dalam rentang waktu satu hingga tiga tahun.

Di Rusia, Kanada, Jepang, Swiss dan Jerman Barat siswa SMA wajib membaca 12 hingga 22 buku dalam kurun yang sama.

Siswa SMA di Perancis, Belanda dan Amerika Serikat bahkan diwajibkan membaca minimal 30 buku dalam waktu dua hingga tiga tahun.

Sementara siswa SMA di Indonesia hanya pernah diwajibkan membaca 25 buku pada 1929-1942, saat sekolah menengah namanya masih AMS Hindia Belanda.

Menurut hasil penelitian, antara 1943 hingga 2008, siswa SMA Indonesia hanya membaca nol buku.

"AMS Belanda siapa yang membaca 25 buku setahun, itu namanya Soekarno, Mohammad Hatta, Sjafrudin Prawiranegara, Muhammad Natsir, Ali Sastromijoyo, Muhammad Yamin. dan itulah hasilnya. Baru tamat SMA, sudah ada 25 buku di kepala mereka," kata Taufiq.

Taufiq mengatakan Indonesia sangat buruk dalam menanamkan kecintaan membaca dan menulis kepada anak-anak bangsa, tidak menjadikannya sebagai kewajiban dalam kurikulum Bahasa Indonesia.

"Saya berkata sudah sangat-sangat buruk, sudah jelek sekali. Indonesia tidak menyiapkan anak-anaknya masuk ke dalam peradaban dunia dengan menanamkan kecintaan membaca buku dan menulis," katanya.

Taufiq mengatakan, tahun 1950, setelah kemerdekaan Indonesia diakui dunia, para petinggi pemerintahan berupaya untuk membangun infrastruktur, pertanian dan perekonomian, sehingga ilmu yang diajarkan mengarah pada ilmu eksakta dan ilmu ekonomi.

Mata pelajaran yang mengharuskan membaca 25 buku sastra dalam satu tahun kemudian dihilangkan karena pendidikan diarahkan untuk menghasilkan anak-anak yang mampu menjawab soal kimia, biologi dan fisika.

"Yang sehebat ini, kewajiban membaca dan menulis hilang. Jadi, ada sebuah partai yang berkuasa, yaitu 'partai linguistik'. Dari SD sampai SMA yang diajarkan adalah awalan, sisipan, akhiran. Apa itu fonem, apa itu prefiks, infiks dan sufiks. Ini berkuasa sekali daripada sastra," kata Taufiq.

Taufiq dan para sastrawan lain pernah berusaha membuat perubahan dengan mendatangi Kementerian Pendidikan yang kala itu dipimpin Wardiman Djojonegoro.

Menurut dia, Wardiman adalah menteri pendidikan pertama yang membuka pintu dan mempersilakan para sastrawan terlibat dalam pembuatan kurikulum Bahasa Indonesia.

Taufiq Ismail dan para sastrawan akhirnya diberi kesempatan untuk bertemu dengan para guru Bahasa Indonesia dan memberikan cara pandang baru dalam mengajarkan sastra.

"Kami melatih dua ribu orang guru di 17 kota selama enam hari. Para guru mengaku senang mendapat pemahaman baru dari kami, sehingga mereka tahu bagaimana menyampaikan pelajaran sastra dengan cara menyenangkan," kata Taufiq.

Menurut Taufiq, ada tujuh hal penting dalam pengajaran sastra. Pertama pelajaran sastra harus asyik, nikmat, gembira, mencerahkan; kedua siswa mesti membaca langsung karya sastra; dan ketiga harus ada perpustakaan sekolah yang kuat.

Keempat kelas mengarang mesti dibuat menyenangkan; kelima teori, defisini, sejarah sastra merupakan informasi sekunder; dan terakhir pengajaran sastra mesti diarahkan untuk menyemaikan nilai luhur seperti keimanan, kejujuran, ketertiban, pengendalian diri, tanggung jawab, kebersamaan, kerja keras, optimisme dan penghargaan terhadap nyawa manusia.

Taufiq mengatakan, mengubah cara pandang suatu bangsa terhadap sastra tidak mudah, terlebih membuat mereka serta merta mencintai buku.

Baginya, sekarang yang terpenting adalah menumbuhkan kesadaran generasi penerus bahwa membaca bisa mencerahkan jiwa.

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2014