Akan lebih baik kalau serikat pekerja secara institusi bersikap netral, sehingga mampu memberikan kritik keras terhadap pemerintahan baru jika kebijakannya tidak sesuai dengan keinginan dan aspirasi pekerja."
Jakarta (ANTARA News) - Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) memberikan kebebasan kepada setiap individu untuk memilih dan menentukan langkah strategi politik praktis tanpa membawa institusi karena keputusan yang dihasilkan suatu institusi harus ditentukan melalui tahapan mekanisme organisasi.

"Akan lebih baik kalau serikat pekerja secara institusi bersikap netral, sehingga mampu memberikan kritik keras terhadap pemerintahan baru jika kebijakannya tidak sesuai dengan keinginan dan aspirasi pekerja," kata Presiden KPI Hanafi Rustandi dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Selasa.

Sebelumnya, sejumlah organisasi pekerja menunjukkan kecenderungannya mendukung calon presiden di peringatan hari buruh Internasional May Day.

KPI menegaskan tetap netral dan tidak akan latah mendukung capres tertentu. Bagi KPI, siapa pun yang akan menjadi presiden nanti harus mampu meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan bagi pekerja, termasuk pelaut. Ia mengingatkan ada satu tuntutan KPI dan para pelaut Indonesia yang belum direalisasikan oleh pemerintahan SBY, yakni ratifikasi Konvensi Pekerja Martitim atau Maritime Labour Convention (MLC)," katanya.

MLC yang ditetapkan dalam sidang ILO (International Labour Organization) tahun 2006 di Jenewa, menurut Hanafi, telah diberlakukan di seluruh dunia sejak 20 Agustus 2013. Konsekuensinya, semua kapal beserta crew dari negara yang belum meratifikasi MLC akan mendapat sanksi internasional.

Kapal yang tidak memenuhi ketentuan standar MLC dilarang berlayar. Perusahaan pelayaran atau pemilik kapal di luar negeri juga mengancam tidak akan merekrut awak dari negara yang belum meratifikasi MLC. "Pemerintah harus serius memperhatikan masalah ini, karena bisa mengganggu operasional kapal dan pelaut Indonesia terancam diturunkan dari kapal tersebut," tambahnya.


Kekerasan di STIP

Terkait kekerasan taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) yang menewaskan seorang taruna yunior, Hanafi minta semua pihak melihat permasalahannya secara keseluruhan dan professional. Tanpa bermaksud membenarkan kekerasan yang terjadi di kampus itu, Hanafi mengingatkan, STIP merupakan asset negara yang harus dipertahankan.

Alasannya, selain sebagai kawah candradimuka dalam menciptakan pelaut yang handal, STIP juga sebagai penyelenggara diklat pelaut yang paling berkompeten di seluruh Indonesia.

Untuk itu, ia minta Badan Pengembangan SDM Perhubungan dan STIP harus mengevaluasi sistem pembinaan dan pengawasan taruna sehingga kasus kekerasan itu tidak terjadi lagi di masa mendatang.

Menanggapi wacana yang dilontarkan oleh Dirjen Pendidikan Tinggi agar STIP menutup program pendidikan nautika dan teknika, Hanafi menegaskan, usul itu bukan solusi yang tepat. Program pendidikan itu harus tetap dilaksanakan, mengingat saat ini Indonesia lagi kritis karena kapal-kapal nasional sangat kekurangan perwira.

Sekretaris KPI Sonny Pattiselanno menambahkan kekurangan perwira itu harus segera diatasi. Jika tidak, maka pelaut asing akan mengisi posisi perwira di kapal-kapal Indonesia.

"Ini merupakan masalah serius, terutama menjelang diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN pada 2015," katanya lalu menambahkan jika, sampai pelaut asing menjadi perwira di kapal-kapal nasional maka kondisi itu bertentangan dengan UU Pelayaran.

Dia mengingatkan, pendisiplinan taruna tidak harus dilakukan dengan kekerasan. Pembinaan moral dan mental perlu dikedepankan, sehingga sikap mereka tidak mengarah pada kekerasan.

Untuk itu, Sonny mengusulkan agar seleksi taruna STIP disertai dengan tes psikologi, kolektivitas dan agresifitas. Semua itu dimaksudkan agar mereka yang akan menjadi perwira yang bertanggung jawab dalam tugas, serta mampu menegakkan aturan dan prosedur di kapal. (*)

Pewarta: Erafzon SAS
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014