Jakarta (ANTARA News) - Kalangan pengamat pertanian menilai Indonesia seharusnya memiliki kemampuan untuk mengurangi ketergantungan pada impor sayuran mengingat iklimnya sangat mendukung sebagai negara produsen sayuran.

"Seperti Thailand, negara ini mampu mengembangkan industri hortikultura setelah kebijakan dan strategi Pemerintah memberikan dukungan terhadap sektor ini," kata pakar pemuliaan tanaman Prof. Soemarno di Jakarta, Rabu, menanggapi data BPS yang menyebutkan impor sayuran Indonesia terus mengalami kenaikan.

Soemarno mengatakan bahwa pemerintah Thailand pada era 1970-an mengundang perusahaan benih multinasional untuk menanamkan investasi di sektor perbenihan.

Menurut dia, tidak ada pembatasan investasi di sektor tersebut hingga saat ini membuat pertumbuhan signifikan di sektor perbenihan dan pemuliaan tanaman.

Kini, sekitar 80 persen kebutuhan benih unggul disediakan pihak swasta.

"Persaingan yang ketat di antara perusahaan benih multinasional, kata dia, justru memberi keuntungan kepada petani Thailand. Petani memiliki kebebasan dan akses terhadap benih-benih unggul terbaik sehingga mampu meningkatkan produksinya," katanya.

Hal yang sama juga terjadi di India dan Kenya. Strategi membuka keran investasi berhasil membuat kedua negara tersebut kini menjadi pengekspor benih dan produk sayuran tropika terbesar di dunia, jelas dia.

Persaingan antarperusahaan multinasional di kedua negara tersebut membuat anggaran penelitian, riset, dan teknologi pemuliaan tanaman--yang merupakan jantung dari industri benih sayuran--meningkat tiga kali lipat dalam jangka pendek.

Ia mengatakan bahwa di Indonesia impor sayuran justru mengalami kenaikan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa impor sayuran meninggi kembali pada kuartal pertama 2014. Selama tiga bulan pertama 2014 impor sayuran nilainya telah mencapai puluhan juta dolar.

Bawang merah dan bawang putih adalah dua sayuran yang mengalami lonjakan impor pada bulan Maret 2014.

Impor bawang putih mencapai 52.187 ton, atau senilai 37,7 juta dolar AS pada bulan Maret, sedangkan pada bulan Februari, impornya 26.614 ton atau 19,4 juta dolar AS.

Sementara itu, untuk bawang merah dilaporkan volume impornya mencapai 22.908 ton atau senilai 9,8 juta dolar AS. Pada bulan Februari, impor bawang merah adalah 14.315 ton atau 6,5 juta dolar AS. Selama tiga bulan 2014, impor bawang merah sudah mencapai 43.470 ton atau 19,4 juta dolar AS.

Hal yang sama terjadi dengan komoditas cabai yang diimpor sebanyak 2.599 ton atau senilai 3,09 juta dolar AS. Jauh lebih tinggi dibandingkan Februari sebanyak 1.790 ton atau 2,1 juta dolar AS.

Secara akumulasi (Januari--Maret), impor cabai mencapai 6.102 ton atau 7,33 juta dolar AS. Impor beberapa sayuran lain dan juga kentang juga masih tinggi.

Negara yang memasok kebutuhan sayuran Indonesia itu, antara lain Thailand dan India serta Tiongkok.

Thailand dan India saat ini menjadi negara utama pengekspor benih sayuran dan sayuran segar serta olahan di dunia.

Sementara itu, pakar pertanian Prof. Bungaran Saragih mengatakan bahwa Indonesia sejatinya bisa belajar dari keberhasilan negara-negara tersebut.

Namun, dengan dalih kedaulatan, Indonesia justru menutup diri dari investasi di sektor perbenihan sayuran dengan membatasi investasi asing maksimal 30 persen.

Padahal, nilai pasar industri ini sangat kecil, yakni sekitar Rp 1,5 triliun dibanding nilai pasar produk hortikultura yang mencapai Rp100 triliun.

Bungaran yang juga mantan Menteri Pertanian menegaskan bahwa industri benih sayuran nasional saat ini belum mampu mengisi dan menyediakan benih unggul berkualitas.

Ia berpendapat bahwa undang-undang sudah cukup baik membatasi investasi 30 persen di sektor hortikultura, tetapi khusus untuk subsektor perbenihan hortikultura pembatasan itu tidak tepat karena Indonesia belum siap.

"Jangan kita menggunakan dalih kedaulatan dan meributkan nilai yang kecil, tetapi hasilnya justru kemunduran dan kalah bersaing serta berakibat impor produk hortikultura dari negara lain yang nilainya jauh lebih besar," kata Bungaran.

Pewarta: Ganet
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014