Karena dasar hukum adalah pemerintah boleh blanket guarantee tapi aturan itu tidak ada, yang ada adalah penjaminan terbatas,"
Jakarta (ANTARA News) - Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan bahwa dana talangan yang diberikan kepada Bank Century senilai Rp6,7 triliun tidak memiliki dasar hukum.

"Karena dasar hukum adalah pemerintah boleh blanket guarantee tapi aturan itu tidak ada, yang ada adalah penjaminan terbatas," kata Jusuf Kalla (JK) saat bersaksi dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.

Hal itu disampaikan oleh JK dalam sidang perkara pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) kepada Bank Century dan penetapan bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik dengan terdakwa mantan deputi Gubenur Bank Indonesia bidang 4 Pengelolaan Moneter dan Devisa dan Kantor Perwakilan (KPW) Budi Mulya.

"Blanket guarantee" adalah pemberian jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat seperti yang dilakukan oleh pemerintah kepada perbankan saat krisis 1997--1998.

Namun ruang lingkup penjaminan yang terlalu luas menyebabkan timbulnya "moral hazard" baik dari pengelola bank maupun masyarakat, sehingga pemerintah pada 1998 melalui UU No 10/1998 tentang Perbankan mengamanatkan pembentukan suatu Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang hanya memberikan jaminan untuk tabungan dan deposit masyarakat maksimal Rp2 miliar dengan bunga tidak melebihi bunga acuan bank sentral.

Padahal pada 21 November 2008 dini hari, KSSK memutuskan untuk memberikan dana talangan berupa penyertaan modal sementara (PMS) sebesar Rp2,7 triliun kepada Bank Century karena bank tersebut sudah diambil alih oleh LPS.

Namun pemberian PMS itu baru dilaporkan oleh Menteri Keuangan dan Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Sri Mulyani Indrawati dan Gubernur BI sekaligus anggota KSSK Boediono kepada JK pada 25 November 2008.

"Jadi sebenarnya pemberian (bailout) tanpa dasar hukum itu dilaporkan ke Wapres?" tanya jaksa penuntut umum KPK Pulung Rinandoro.

"Tidak dilaporkan saat pengambilan keputusan," jawab JK.

"Ini yang dimaksud sebagai tidak ada dasar hukum?" tanya Pulung.

"Dasar hukumnya hanya untuk Rp2 miliar, karena penjaminan untuk nasabah Rp2 miliar ke bawah, LPS bertanggung jawab ke presdien karena peraturan menyatakan bahwa hanya ada Rp2 miliar ke bawah yang bisa dijamin," tambah JK.

"Apakah Menkeu pernah laporkan bahwa keputusan untuk Bank Century itu perlu ditinjau ulang?" tanya anggota majelis hakim Made Hendra.

"Tidak," jawab JK.

"Di BAP (Berita Acara Pemeriksaan) Saudara menyebutkan blanket guarantee sebagai bail out oleh KSSK tapi Sri Mulyani mengakui bahwa tidak salah secara de factor tapi tidak tidak secara de jure?" tanya hakim Made Hendra.

"Itu baru satu tahun kemudian pada September 2009, sesuai kesaksian Sri Mulyani kemarin juga yang mengatakan bisa mati berdiri," ungkap JK.

Sri Mulyani dalam sidang Jumat (2/5) mengatakan kecewa dengan data BI mengenai Bank Century karena ada perubahan laporan CAR (rasio kecukupan modal) Bank Century.

"Tapi Anda tidak setuju (blanket guarantee)?" tanya jaksa Pulung.

"Negara yang tidak setuju bukan saya pribadi," jawab JK.

JK menjelaskan bahwa pemberian blanket guarantee berdasarkan pengalaman krisis 1998 paling menyulitkan.

"Karena BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang mencapai lebih dari Rp600 triliun lebih akibatnya sampai 15 tahun setelah itu kita harus membayar lebih dari Rp100 triliun untuk bunga dan cicilan, jadi jangan sampai terjadi kapan pun di Indonesia untuk menjamin semua kesulitan bank, tapi kesulitan harus ditanggung pemegang saham bank. Saya menolak blanket guarantee yang boleh adalah penjaminan terbatas," jelas JK.

Dalam perkara ini, jaksa KPK mendakwa Budi Mulya dengan dakwaan primer dari pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64 ayat (1) KUHP; dan dakwaan subsider dari pasal 3 o Pasal 18 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64 ayat (1) KUHP.

Pasal tersebut mengatur tetang penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara. Ancaman pelaku yang terbukti melanggar pasal tersebut adalah pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

(D017/J008)

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014