...kisah sukses translokasi terjadi di Afrika dan India hasilnya terjadi kenaikan populasi badak...
Jakarta (ANTARA News) - Pada Februari 2014, Balai Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) mengumumkan populasi badak jawa terkini mencapai 58 ekor terdiri atas 35 jantan dan 23 betina.

Namun selang satu bulan setelah diumumkannya populasi terkini hewan bertubuh besar endemik di semenanjung Jawa ini, tim pemasang video trap Rhino Monitoring Unit (RMU) Balai TNUK menemukan satu badak jawa jantan yang diperkirakan berusia antara 23--26 tahun mati.

Bangkai hewan bernama latin Rhinoceros sondaicus seberat satu ton ini ditemukan di pinggir pantai dekat muara Sungai Cicadas, Blok Cikembangan, Taman Nasional Ujung Kulon, Pandeglang, Banten. Penyebab kematian badak belum jelas diketahui.

Seluruh tulang, sampel organ dalam, air hingga serangga di dekat bangkai badak ditemukan ikut dibawa ke laboratorium milik Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk diteliti.

Rhino Monitoring Officer WWF Indonesia Unjung Kulon Project Ridwan Setiawan mengatakan investigasi penyebab kematian badak jawa ini akan sulit dan memakan waktu lama. Pasalnya, kondisi badak yang ditemukan mati tersebut sudah membengkak, sementara kondisi sekitar lokasi kejadian pun telah berubah.

"Jejaknya sudah terinjak-injak, seandainya masih bagus bisa tahu kita dia habis dari mana jadi mungkin terlacak dia habis makan apa atau ada kejadian apa sebelumnya. Ini sudah tidak terlacak," ujar dia.

Badak jawa sangat sangat pemalu, sensitif, dan hidup soliter. Bahkan hingga kini belum diketahui pasti berapa lama badak jawa jantan dan betina berkumpul pada musim berkembang biak di Taman Nasional Ujung Kulon.

Menurut Penanggung jawab Rhino Monitoring Unit (RMU) dan Rhino Health Unit (RHU) Balai TNUK Muhiban, anak badak jawa jantan mulai disapih saat memasuki usia sekitar 20 bulan. "Kalau anak badak jawa betina malah lebih cepat, umur 18 bulan biasanya sudah disapih".

Tingkat reproduksi badak jawa tergolong rendah, hal tersebut terlihat dari propulasi yang relatif stagnan.

Leader of Ujung Kulon Project WWF Indonesia Elisabeth Purastuti mengatakan tren populasi badak jawa hingga tahun 1980-an cuma sekitar 25 individu saja. Tapi di atas tahun 1980-an jumlahnya meningkat, hingga sekarang populasi stabil mencapai 50--60 individu.

Ancaman populasi

Meski relatif bertambah namun kondisi populasi badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon sangat serius dan bisa berakhir pada kepunahan jika tidak diambil langkah penyelamatan cepat dan konsisten.

Elisabeth mengatakan, ancaman terhadap single populasi badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon begitu besar. Bencana alam letusan gunung api, gempa, hingga tsunami menjadi ancaman utama.

Persaingan ruang dan pakan dengan banteng yang populasinya mencapai lebih dari 800 juga menjadi masalah. Banteng di TNUK tidak lagi hanya memakan rumput, tetapi berubah menjadi pemakan pucuk daun muda seperti badak jawa.

Namun, menurut dia, ancaman pakan bukan saja berasal dari persaingan dengan banteng saja tetapi juga dengan adanya Invassive species Langkap atau Arenga obtusifolia yang menghambat pertumbuhan tanaman yang menjadi pakan badak.

Menurut Rhino Monitoring Officer WWF Indonesia Unjung Kulon Project Ridwan Setiawan, pertumbuhan tanaman Langkap begitu pesat terutama di dataran rendah Taman Nasional Ujung Kulon. Namun persebarannya sulit terlacak, sekalipun menggunakan citra satelit.

"Langkap tumbuh di bawah pohon-pohon tinggi di taman nasional, jadi tidak terdeteksi dengan citra satelit," ujar dia.

Balai TNUK bersama WWF Indonesia, IPB, dan Yayasan Badak Indonesia (Yabi) memang sedang berusaha melakukan manajemen habitat untuk mengontrol penyebaran langkap dengan membuat plot eradikasi langkap dan monitoring. Penanaman tanaman yang menjadi pakan badak juga dilakukan di zona rimba.

Ancaman yang tidak kalah membahayakan populasi badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon, kata Elisabeth, adanya potensi wabah penyakit dari kerbau-kerbau milik masyarakat untuk membajak sawah yang dilepasliarkan di wilayah buffer zone taman nasional.

Meski belum pernah ditemukan menular ke badak namun kasus penyakit ngorok pada kerbau milik penduduk di sekitar Taman Nasional Ujung Kulon terjadi pada tahun 1980-an. WWF Indonesia bersama Cornell University dan IPB melakukan kerja sama meneliti penyakit-penyakit pada kerbau yang sekiranya dapat menyerang badak.

Sebagai upaya pencegahan penyebaran penyakit, menurut Elisabeth, WWF Indonesia juga melaksanakan program pengandangan kerbau-kerbau masyarakat di beberapa desa di sekitar Taman Nasional Ujung Kulon agar tidak menularkan penyakit ke badak jawa.

Rumah kedua

Pemikiran untuk mencarikan badak jawa rumah kedua sudah ada sejak lima tahun lalu. Dalam Strategi Rencana Aksi Badak Indonesia 2007 tertulis pada tahun 2015 ditargetkan terdapat dua habitat badak jawa dan satu suaka.

Hingga saat ini, menurut Elisabeth, survei untuk mengidentifikasi potensi habitat kedua badak jawa telah dilakukan. Beberapa lokasi yang telah disurvei secara cepat yakni Cagar Alam Leuweung Sancang, Suaka Margasatwa Cikepuh, Cagar Alam Rawa Danau, Hutan Produksi KPH Banten, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, dan Hutan Tutupan Baduy.

"Rapid assesment dilakukan, hingga studi banding translokasi badak di Afrika juga akan dilakukan. Studi banding translokasi dengan menggunakan gajah di India juga dilakukan, kisah sukses translokasi terjadi di Afrika dan India hasilnya terjadi kenaikan populasi badak," ujar dia.

Pemilihan lokasi kedua untuk konservasi badak jawa memang tidak mudah. Jika rumah kedua ditentukan di Pulau Jawa tentu areanya akan kecil, karenanya perlu intensif manajemen untuk pengelolannya.

Namun jika lokasi rumah kedua ditetapkan di Pulau Sumatra, ia mengatakan badak jawa akan mendapat area yang luas namun ancaman persaingan antara badak sumatra dengan badak jawa terjadi.

"Ancaman perburuan juga akan terjadi," ujar dia.

Tidak hanya masalah rumah kedua yang dipersiapkan. Ia mengatakan cara memindahkan badak jawa pun dikaji.

"Berapa jumlah yang akan diangkut kita belum tahu, apakah satu jantan satu betina saja, atau bersama anaknya kita belum tahu. Apakah badak jantan yang tidak produktif yang kita uji coba untuk dipindahkan atau justru yang produktif, kita juga belum tahu," ujar Elisabeth.

Semua masih harus dikaji, bukan saja kecocokan lingkungan tetapi juga kesiapan masyarakat sekitar lokasi rumah kedua mau pun masyarakat Banten yang harus menerima bahwa badak jawa merupakan harta berharga milik dunia, sehingga upaya apa pun perlu ditempuh untuk memastikan berlangsungan hidupnya.

Oleh Virna Puspa Setyorini
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2014