Jakarta (ANTARA News) - Pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla sebagai calon presiden dan calon wakil presiden akhirnya berhadapan dengan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa dalam kontestasi perebutan kursi istana pada Pemilu Presiden 2014.

Koalisi parpol yang mengusung Jokowi-Kalla dan koalisi pesaingnya yang mengusung Prabowo-Hatta memiliki jumlah kursi pendukung di DPR dengan kekuatan yang berbeda. Yang pertama mendapat dukungan total 207 kursi DPR dan yang kedua memperoleh dukungan total 292 kursi.

Namun penentu kemenangan adalah suara langsung rakyat lewat pencoblosan di bilik-bilik pemungutan suara, bukan kekuatan jumlah kursi di DPR yang mengusung masing-masing pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.

Sebelum koalisi secara resmi terbentuk, berbagai jajak pendapat yang dilakukan sejumlah lembaga survei, sebagian besar hasilnya masih mengunggulkan Jokowi sebagai calon presiden.

Namun dengan berubahnya konstelasi politik, antara lain dengan terbentuknya koalisi dan pasangan masing-masing calon presiden, peluang-peluang siapa yang menempati urutan pertama dalam jajak pendapat masih serba terbuka.

Persoalan politik terkait koalisi parpol dalam mengusung capres dan cawapres sebenarnya, terutama bagi rakyat kecil, cukup gambalang dan lugas. Siapa yang paling memihak rakyat dalam pengambilan kebijakan ketika berkuasa, itulah yang diharapkan akan menjadi pemenang dalam kontestasi pemilihan presiden 2014.

Jika dilihat dari pernyataan-pernyataan masing-masing pasangan calon, tak mudah untuk menilai siapa yang akan membuat kebijakan-kebijakan politik yang pro rakyat. Kedua pasangan sama-sama menjanjikan kesejahteraan rakyat tanpa secara jelas menunjukkan kecenderungan platform ideologis mereka.

Kebijakan yang pro rakyat bisa saja ditempuh dengan pilihan platform yang berbeda secara ideologis.

Biasanya, dalam perpolitikan yang konvensional, partai politik bisa mengklaim akan mensejahterakan rakyat dengan melakukan liberalisasi ekonomi. Yang dituju adalah pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dengan demikian, kebijakan dan alokasi dana negara dikonsentrasikan pada investasi pada indsutri yang mendukung pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Sebaliknya platform politik yang lain bisa dalam wujud kebijakan dan alokasi dana negara yang relatif besar pada program-program kesejahteraan, misalnya memberikan layanan pendidikan dan kesehatan pada kelompok masyarakat miskin.

Pertarungan platform ideologis semacam ini tak terlihat dalam kontestasi antara pasangan Jokowi-Kalla dan pasangan Prabowo-Hatta.

Ketika deklarasi pasangan koalisi dilakukan di Gedung Joang 45 jakarta, Jokowi dan Kalla sama-sama menyatakan keyakinan mereka bahwa lewat kerja keras, Indonesia yang makmur dan rakyat yang sejahtera akan terwujud.

Begitu juga dengan pasangan koalisi Prabowo dan Hatta yang dideklarasikan di Rumah Polonia di Jalan Cipinang Cempedak, Otista, Jakarta.

Keduanya juga menyatakan keyakinan bahwa Indonesia akan menjadi bangsa yang besar dan bermartabat lewat ikhtiar yang akan mereka laksanakan dengan penuh amanah.

Jika kedua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden sama-sama menjanjikan kebesaran dan kehebatan serupa, lalu apa tolok ukur yang bisa dipakai sebagai parameter bagi rakyat pemilih untuk menentukan pilihan mereka.

Itu salah satu pertanyaan mendasar untuk memberikan kesempatan bagi salah satu pasangan meraih kursi kepresidenan atau tahta kekuasaan di istana negeri ini.

Karena masih ada sisa waktu 50 hari yang akan menentukan siapa yang layak menjadi orang nomor satu dan wakilnya di negeri ini, sepak terjang selama itu pulalah yang pantas menjadi patokan pemilih dalam menentukan pilihan di bilik-bilik pencoblosan kertas suara pada Pemilihan Presiden nanti.

Artinya, dalam waktu lebih dari satu setengah bulan itu rakyat perlu mengamati bagaimana kejujuran, integritas, masing-masing pasangan calon presiden dan calon wakil presiden beserta tim sukses mereka masing-masing dan pendukung mereka dalam melakukan kampanye.

Pihak yang memperlihatkan kejujuran dalam berkampanye, yang paling mengikuti aturan hukum seperti tidak melakukan kampanye hitam atau kampanye negatif dan tidak melakukan politik fulus adalah pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang layak dicoblos.

Tentu saja, dalam hiruk-pikuk kampanye, apalagi dalam politik yang sering mengabaikan etika dalam batas-batas tertentu, siapa yang melakukan kampanye hitam atau kampanye negatif atau melakukan politik uang bisa saja dijungkirbalikkan.

Artinya, jika rakyat punya kecenderungan psikis dalam bentuk keberpihakan pada pihak yang dizalimi, bisa saja tim sukses pemenangan (tentu saja peluang ini bisa dilakukan oleh masing-masing pihak) melakukan teknik kampanye yang berbentuk pembunuhan karakter terhadap diri sendiri.

Meskipun cara-cara tak elegan itu bisa dilakukan (oleh siapapun), pada akhirnya, seperti pepatah-petitih Jawa mengatakan, "becik ketitik olo ketoro", yang maknanya: yang buruk akan terindentifikasi dan yang baik akan kentara.

Namun, sayangnya, dalam dua politik sebagaimana yang diyakini oleh politisi negara maju ada pula pepatah tandingannya yang dalam bahasa aslinya berbunyi "bad guys always win", yang artinya: orang-orang yang buruk selalu menang.

Tentu saja, adagium yang terakhir itu tak perlu dipahami secara harfiah. Jika begitu, maka semua yang menang dalam kontestasi politik di seluruh dunia, adalah bad guys semua.

Pepatah semacam itu mungkin berlaku di negeri yang belum memiliki landasan berdemokrasi yang kuat, di mana kecurangan begitu mudah dilakukan tanpa dikenai sanksi.

Akhirnya, kembali ke patokan paling mendasar, pemilih diharapkan memilih pasangan yang paling memperlihatkan kejujuran dalam menyongsong jalan menuju kursi istana presiden.

Oleh M Sunyoto
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2014