Kalau bisa hal-hal semacam itu diselesaikan sebelum terbentuknya pemerintahan baru, agar mereka lebih nyaman dalam upaya penguatan industri kita,"
Bandung (ANTARA News) - Menteri Perindustrian, MS Hidayat, menargetkan perumusan tentang regulasi Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPnBM) terhadap ponsel impor rampung sebelum pemerintahan baru berlangsung atau Oktober 2014.

"Kalau bisa hal-hal semacam itu diselesaikan sebelum terbentuknya pemerintahan baru, agar mereka lebih nyaman dalam upaya penguatan industri kita," katanya selepas membuka Pameran Produksi Indonesia (PPI) 2014 di Bandung, Kamis.

Hidayat bahkan sempat menyebutkan bahwa seharusnya perumusan hal tersebut sudah bisa diselesaikan dalam waktu beberapa bulan terakhir apabila tidak bertabrakan dengan gelaran pesta demokrasi Pemilihan Umum Legislatif dan Presiden 2014.

Meski demikian Hidayat meyakini proses itu akan segera rampung setelah Menteri Keuangan Chatib Basri, yang tengah mengikuti Forum Ekonomi Dunia untuk Asia Timur (WEF-EA) di Manila, Filipina, kembali ke tanah air.

"Ya pokoknya kalau sudah diputusi Menkeu meskipun baru lisan, biasanya saya sudah lebih dulu umumkan meskipun sering dikeluhkan sama menteri lain," ujarnya.

Sementara itu, sebagaimana disebutkan Hidayat pembicaraan antara pihaknya di Kementerian Perindustrian dengan Kementerian Perdagangan dan Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, masih baru mencapai 60 persen dari kesepakatan saja.

"Masih ada yang harus disinergikan dengan sudut pandang perindustrian," katanya.

Besaran PPnBM itu belum ditentukan secara resmi, namun berdasarkan wacana awal yang diusulkan, akan dikenakan pajak berkisar 20 persen.

Selain itu terkait dengan bea masuk untuk produk-produk tertentu disebutkan Hidayat bahwa kebijakannya bisa dipertimbangkan dan diubah setiap tahunnya apabila berkaitan dengan kepentingan industri nasional.

"Misalkan nanti sudah ada industri yang mulai harus dilindungi, termasuk industri ponsel, maka bea masuknya bisa dinaikkan. Itu instrumen yang buka tutupnya hanya akan digunakan dan disesuaikan untuk kepentingan nasional," ujarnya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2013 impor telepon seluler ke Indonesia mencapai 16.470 ton atau senilai Rp33,4 triliun atau setara dengan 2,79 miliar dollar AS.

Telepon seluler juga menjadi komoditas dengan nilai impor terbesar kedua setelah komponen minyak dan gas bumi (migas). Sedangkan dalam kelompok nonmigas, telepon seluler yang merupakan barang konsumsi ini berada di urutan teratas.

Negara asal impor telepon seluler terbesar adalah Tiongkok dengan 13.116 ton atau 1,6 miliar dollar AS. Kemudian Vietnam dengan 1.426 ton atau 607,1 juta dollar AS, dan selanjutnya Meksiko 239 ton atau senilai 203,6 juta dollar AS.(*)

Pewarta: Gilang Galiartha
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014