Tripoli (ANTARA News) - Pemerintah Libya hari Kamis mendesak seluruh milisi meninggalkan Tripoli dan tidak mencampuri urusan politik, setelah ketua parlemen meminta eks-pemberontak dari Misrata "melindungi ibu kota Libya tersebut".

Kabinet Perdana Menteri Abdallah al-Theni "mengeluarkan seruan kepada para pemimpin seluruh brigade bersenjata di Tripoli Raya" untuk meninggalkan kota itu dan menghindari politik, kata Menteri Kebudayaan Habib Lamine, lapor AFP.

Minggu, gerilyawan dari brigade kuat Zintan, yang mendukung seorang jendral pembangkang yang meluncurkan operasi untuk menumpas kelompok militan, menyerang gedung parlemen sementara, Kongres Umum Nasional (GNC), yang didominasi muslim garis keras, dan membakar sebagian bangunan itu.

Sebagai tanggapan, ketua GNC Nuri Abu Sahmein meminta bantuan eks-pemberontak yang sama-sama kuat dari kota Misrata, yang telah mendeklarasikan diri sebagai pendukung parlemen, "untuk melindungi ibu kota dan lembaga-lembaga negara".

Sebelumnya Kamis, sejumlah unsur milisi Misrata memasuki sebuah daerah selatan Tripoli, yang menimbulkan kekhawatiran mengenai kemungkinan bentrokan dengan kelompok Zintan saingan mereka.

Pernyataan pemerintah itu mengatakan, keputusan Abu Sahmein meminta bantuan gerilyawan Misrata "mengancam keamanan kota itu dan penduduknya".

Kekerasan terakhir di Tripoli itu terjadi setelah pertempuran mematikan di kota wilayah timur, Benghazi, Jumat, ketika seorang jendral meluncurkan "Tentara Nasional-nya" untuk memerangi militan muslim garis keras.

Tidak jelas apakah hal itu ada kaitannya dengan bentrokan di Benghazi yang menewaskan 79 orang.

Benghazi adalah tempat lahirnya pemberontakan dukungan NATO yang menggulingkan dan menewaskan Muamar Gaddafi.

Setelah pemberontakan 2011 yang menggulingkan pemerintah Muamar Gaddafi, militan di Libya, khususnya di wilayah timur, menyerang aparat keamanan, warga asing, hakim, aktivis politik serta pekerja media, yang menewaskan lebih dari 300 orang.

Pihak berwenang menyalahkan kelompok garis keras atas kekerasan di Benghazi.

Militan yang terkait dengan Al Qaida menyerang Konsulat AS di Benghazi yang menewaskan Duta Besar AS untuk Libya, Chris Stevens, dan tiga warga lain Amerika pada 11 September 2012.

Pemerintah baru Libya hingga kini masih berusaha mengatasi banyaknya individu bersenjata dan milisi yang memperoleh kekuatan selama konflik bersenjata yang menggulingkan Muamar Gaddafi.


Penerjemah: Memet Suratmadi

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014