Bangkok (ANTARA News) - Kepala Tentara Thailand, Jenderal Prayuth Chan-ocha akan mulai memerintah negara yang menghadapi pertentangan politik itu, Jumat, sehari setelah mengambil alih kekuasaan dalam kudeta tak berdarah guna mengakhiri kerusuhan yang telah berlangsung selama enam bulan.

Prayuth melakukan kudeta setelah kelompok yang bertikai menolak menghentikan perebutan kekuasaan, antara mereka yang setia kepada pemerintah yang berkuasa dan politisi terkenal yang menyebabkan kekhawatiran akan terjadi kekerasan serta kerusakan ekonomi Thailand.

Tentara telah menahan sejumlah politisi dari kedua belah pihak saat Prayuth mengumumkan pengambil-alihan kekuasaan setelah perundingan yang dipimpinnya tidak berjalan.

Pihak militer dikabarkan menyensor pemberitaan oleh media, membubarkan unjukrasa dan menerapkan jam malam dari pukul 10 hingga pukul lima pagi.

Selanjutnya militer memanggil Perdana Menteri Yingluck Shinawatra dan 22 orang dari pihaknya termasuk anggota keluarga yang berpengaruh dan para menteri dalam pemerintahannya, untuk mengadakan rapat di kantor militer, Jumat pagi.

Yingluck adalah adik perempuan dari Thaksin Shinawatra, konglomerat bidang telekomunikasi yang juga mantan perdana menteri yang mendapat banyak dukungan dari kaum miskin tetapi kemudian dituduh melakukan korupsi dan nepotisme.

Yingluck dipaksa mundur sebagai perdana menteri oleh pengadilan dua pekan lalu, dan meskipun pemerintah sementaranya digempur aksi protes selama enam bulan, tetap memegang kekuasaan.

Rapat bersama Yingluck akan menegaskan peran Prayuth yang berusaha mengendalikan negaranya untuk keluar dari krisis dan menangkis kecaman internasional mengenai peran tiba-tiba militer.

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry mengatakan "tidak ada pembenaran suatu kudeta" yang akan memberikan "dampak buruk" hubungan dengan pihak militer.

Kerty menyerukan Thailand menyelenggarakan pemilu dini untuk mengetahui seluruh kehendak rakyat.

Ia juga menyerukan pembebasan para tahanan politik di negeri tersebut.

Kecaman juga datang dari Prancis, Uni Eropa dan kantor Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-bangsa.

Jepang mengatakan bahwa kudeta itu sangat disesalkan, sedangkan Australia mengatakan "sangat prihatin".

(M007)

Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2014