Orang dari daerah manapun, kalau ke sini, tinggal di sini, sudah langsung jadi orang Osing...
Tidak seperti rumah Gadang di Minangkabau atau Tongkonan di Toraja, rumah tradisional Suku Osing di Banyuwangi, Jawa Timur, tidak terlalu mudah dikenali dari luar, terutama oleh orang yang belum benar-benar mengetahuinya.

Rumah-rumah tradisional orang Osing di Desa Kemiren, sekitar tujuh kilometer dari Kota Banyuwangi, selintas tidak jauh berbeda dengan rumah penduduk di pedesaan Jawa lainnya.

Tapi setelah masuk dan berinteraksi dengan penghuninya, keunikan rumah-rumah itu terlihat, dan kekuatannya terasa.

Tetua Desa Kemiren, Mohammad Djohadi Timbul (67), menjelaskan tiang-tiang penyangga rumah Osing dibuat dari kayu putat, tanjang, atau bendo.

"Itu rayap enggak mau," kata Timbul, yang tinggal di rumah tradisional Osing berusia empat generasi bersama istrinya, Rizki Tendel.

Ayah dari tiga anak yang sering diminta memijit para pejabat pemerintah daerah itu mengatakan, kerangka utama rumah Osing tidak berpaku, tapi dibuat saling kait satu sama lain.

Ia lalu menjelaskan bentuk-bentuk kerangka atap rumah Osing, yang bersisi dua di sebut cerocogan, yang punya sisi tiga disebut tikel balung dan atap dengan empat sisi disebut baresan.

Setiap jenis atap itu mengandung makna. Atap cerocogan melambangkan bersatunya laki-laki dan perempuan dalam pernikahan, tikel balung melambangkan lika-liku kehidupan berumah tangga, dan baresan melambangkan rumah tangga yang sudah beres, atau berjalan baik.

"Kalau ingin rumah tangga bahagia, kita melalui berliku jalan, gangguan dan godaan ada saja. Kalau kita sudah kuat menghadapi godaan, halangan bisa diatasi, berarti rumah tangganya beres," kata kakek dari lima cucu itu.

Sambil berjalan menyusuri jalanan kampung dan menunjukkan rumah-rumah asli Osing di Kemiren, Timbul menceritakan bahwa pada masa lalu rumah-rumah Osing berlantai tanah dan berdinding anyaman bambu (gedhek pipil), dengan dinding kayu berukir pada bagian depan yang disebut gebyok.

"Bagian depan di sebut bale, bagian tengah jerumah dan bagian belakang pawon atau dapur untuk memasak," katanya saat memasuki rumah tetangganya, Hanapi (87), yang berdinding gedhek pipil dan berlantai tanah.

Ia kemudian berjalan ke rumah tetangga lainnya, Suari, sambil menunjukkan nama-nama tumbuhan berkhasiat obat yang tumbuh di sepanjang jalan.

Di rumah Suari, yang sedang direnovasi, Timbul menunjukkan motif ukiran yang umumnya ada di bagian rumah atau perabotan orang Osing. Ada motif srengenge (matahari), bunga pare, kawung dan selimpet, garis-garis berpola yang saling berhubungan.

Motif matahari melambangkan harapan akan masa depan rumah tangga yang cerah dan bunga pare melambangkan perjalanan kehidupan rumah tangga yang menjalar.
 
"Selimpet itu enggak ada ujung enggak ada pangkal, seperti belas kasih tak berujung. Kalau kawung itu, artinya kalau sudah menikah enggak boleh cari lagi," kata Timbul.

Di samping itu, kasur hitam dengan warna merah pada tepiannya selalu ada di setiap rumah orang Osing di Kemiren.

"Hitam itu melambangkan ketenangan, merah lambang kesemangatan. Itu semua orang sini punya, paling tidak satu. Saya punya dua," kata Timbul, yang tahun lalu menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci bersama istrinya.

Semua orang Osing akan menjemur kasur hitam merah di depan rumah setiap bersih desa tanggal 1 bulan Haji atau Zulhijah dan saat upacara Ider Bumi yang dilakukan pada hari kedua Idul Fitri.


Hilang jarak
   
Rumah Osing tidak hanya unik. Rumah-rumah sederhana itu seperti punya kemampuan menghilangkan jarak. Menjadikan siapa saja yang masuk sebagai bagiannya. Menjadikan "aku" dan "kita" sebagai bagian dari mereka.

Timbul dan istrinya Rizki misalnya. Tanpa curiga mereka mempersilakan tamu yang bahkan tidak mereka kenal sebelumnya masuk ke dalam rumah, lalu mengajaknya duduk sambil menonton televisi bersama.

Mereka juga mengajak tamunya masuk ke ruang tidur untuk menunjukkan kasur hitam merah yang selalu ada di rumah Osing, membuka dapur untuk tamu, dan mengajak tamu mereka makan bersama: nasi, sayur pakis dan batang lucu --sejenis kecombrang--, sup kepiting, dan pepes ikan.

Keluarga Suari dan Hanapi juga membuka lebar pintu rumah untuk tamu, sambil tersenyum mereka menunjukkan bagian-bagian rumah dan isinya kepada tamu yang ingin melihat rumah Osing.

Demikian pula Setiawan Subekti, pengusaha kopi yang punya 15 rumah tradisional Osing di Kemiren, sembilan di antaranya ada di kompleks Sanggar Genjah Arum, yang tampak seperti museum dengan macam-macam koleksi perlengkapan kuno orang Osing seperti lesung, lemari, kursi, hingga menara bambu tinggi untuk memainkan angklung paglak setelah panen.

Meski pagarnya lebih tinggi dari rata-rata tinggi orang dewasa, sanggar milik Setiawan--yang biasa disapa dengan nama Iwan-- terbuka untuk semua orang.

Sanggar yang menjadi tujuan tamu-tamu pejabat pemerintah daerah yang ingin melihat rumah adat Osing itu sering menjadi tempat macam-macam orang berkumpul dan mengobrolkan berbagai hal sampai lupa waktu.

Iwan, si empunya rumah, sangat bersemangat menjamu tamu. Dia menyeduh kopai Osing, kopi khas daerah itu, untuk para tamu dan menyajikannya bersama kelemben, semacam bolu kering, dan makanan tradisional lain.

"Sekali minum, kita sudah bersaudara," kata Iwan, ayah dari dua putri yang sering menyebut diri sebagai orang Osing yang salah casing atau selubung karena berkulit putih dan bermata sipit.

Timbul mengatakan saling membantu adalah hal biasa bagi orang Osing, yang pada masa lalu meliputi orang-orang yang berasal dari Kerajaan Majapahit dan Mataram serta orang Bali dan Madura.

"Orang dari daerah manapun, kalau ke sini, tinggal di sini, sudah langsung jadi orang Osing," katanya.

"Di sini memang tidak ada yang jual kopi atau nasi tempong dan tidak ada ojek atau penginapan. Tapi kalau butuh tanyakan saja pada mereka, semua pasti bisa jadi ada," kata Timbul, yang meski nafasnya sudah tersengal-sengal pijitannya sangat kuat dan membuat sebagian pasiennya kesakitan.

Timbul menambahkan, dia dan orang Osing lainnya akan dengan senang hati menerima tamu yang hendak menginap atau mengantar mereka yang perlu pergi ke kota atau membantu mereka yang butuh bantuan.

Dan saat ditanya alasannya membantu orang lain, Timbul hanya balik bertanya,"Apakah ibadah cuma shalat?"

Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2014