Balige (ANTARA News) - Populasi "ihan" (ikan) batak saat ini kian langka di Danau Toba, Sumatera Utara, akibat penangkapan yang terus berlangsung.

"Ihan batak dalam bahasa latin disebut Neolissochilus thienemanni. Sekarang populasinya kian terancam akibat penangkapan berlebihan," kata staf Dinas Pertanian Perikanan Kabupaten Tobasa, Siahaan, di Balige, Minggu.

Indikasi kelangkaan ihan itu terlihat dari semakin jarangnya ikan ditemukan di perairan Danau Toba. Jika dapat ditangkap oleh para nelayan, ukurannya jauh lebih kecil dibandingkan sebelumnya.

Siahaan mengatakan, hingga tahun 80-an, ihan hasil tangkapan nelayan dari Danau Toba masih mudah didapatkan dan dengan gampang bisa dibeli di pasar tradisonal Kota Balige.

Pada zaman dulu, penangkapan ihan di Danau Toba biasanya dilakukan para nelayan dengan menggunakan sabaran berupa susunan batu di tepi danau sehingga ihan masuk dengan tenang.

Setelah ikan-ikan masuk, pintu sabaran ditutup lalu dilakukan penangkapan.

Dengan cara demikian, menurut dia, tidak terjadi pemburuan ke lubuk pemijahannya.

Berbeda jauh dengan cara-cara yang dilakukan nelayan saat ini.

"Kami hanya dapat menganjurkan agar para nelayan menghindari penangkapan dengan cara-cara yang tidak benar, seperti melakukan penyetruman menggunakan listrik atau aki, agar populasi ihan tersebut dapat dipertahankan," katanya.

Kelangkaan ihan itu berdampak terhadap pergeseran tatalaksana adat istiadat di kalangan masyarakat Batak.

Sehingga dewasa ini, posisi ihan banyak digantikan dengan ikan mas untuk acara "upa-upa" (selamatan atau syukuran).

Pardede, seorang nelayan dari Lumbanbulubul menyebutkan, saat ini ihan batak lebih banyak mereka tangkap dari sungai-sungai yang beraliran deras yang bermuara ke Danau Toba, yang merupakan habitat asli dari ikan tersebut.

"Kalaupun ada hasil tangkapan, merupakan rezki besar karena harga jualnya bisa mencapai Rp300 ribu/ekor," katanya.

Habitat Asli
Habitat asli ihan batak berada di Mual sirambe, satu embung kecil yang airnya jernih dan dingin, mengalir dari celah bebatuan, di Desa Bonandolok, Kecamatan Balige, sekitar 250 kilometer dari Medan, ibukota propinsi Sumatera Utara.

Kualitas air sirambe sangat sesuai untuk syarat hidup ikan langka ini, yakni hanya bisa hidup pada air jernih yang terus mengalir deras, dengan suhu relatif rendah, 21-25 derajat Celcius.

Marlon, seorang penduduk Desa Sirambe menuturkan, mereka tidak pernah mau menangkap ikan tersebut dari mual Sirambe dan bahkan tidak berani untuk memakannya, karena terlarang sejak dahulu.

Ikan itu mereka yakini sebagai perwujudan dari "namboru boru Siagian", penunggu embung yang memilih akhir hidupnya di sana.

Konon, kata Marlon menuturkan, pada zaman dulu kala, seorang putri dijodohkan orangtuanya dengan pria yang tidak disukainya. Lalu, sang putri lari dan bersembunyi ke daerah Aek Sirambe. Sebongkah batu ditafsirkan sebagai pertanda.

Ihan itu, kata dia, jarang menampakkan wujudnya. Bila nampak, itu sebagai pertanda rezeki besar bagi yang melihatnya.

"Batu itu diyakini sebagai perwujudan dari namboru boru Siagian yang menjadi penghuni Mual Sirambe, dan hinggi kini penduduk tidak berani mengusik ihan-ihan dekat batu di mual tersebut," katanya.

Di sebelah hilir mual Sirambe, Dinas Pertanian dan Perikanan Tobasa telah membangun kolam penampungan agar ikan yang keluar dari embung dapat tertampung.

Kolam itu dibangun untuk pembiakan ihan, yang selanjutnya dilepas ke hilir sungai. Bila ini berhasil, sungai itu akan dipenuhi ihan yang dapat ditangkap dan dimakan.

Namun sampai sekarang, kolam penampungan tersebut tidak difungsikan secara optimal, dan terkesan kurang diurus.

Selain di Mual Sirambe, Sungai Binangalom di Kecamatan Lumbanjulu, juga merupakan habitat ihan batak, meski populasinya tidak begitu banyak.

Sitorus, warga Lumbanjulu mengatakan, masyarakat setempat yang akan menangkap ihan dari sungai itu memiliki aturan dan cara tersendiri.

Tujuannya, agar tidak terjadi perusakan, apalagi niat untuk menghancurkkan ikan sakral tersebut.

Sitorus mengaku, warga desa setempat pernah merasa sangat marah dan kecewa terhadap sejumlah penduduk dari desa lain yang datang menangkap ikan di Sungai Binangalom dengan menggunakan aki untuk strum.

"Penggunaan aki untuk menyetrum akan membunuh anak-anak ihan yang masih kecil, sehingga menghambat perkembangbiakan ikan yang semakin langka tersebut," kata Sitorus.

Oleh H. Imran Napitupulu
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014