Solusi tersebut antara lain dengan memanfaatkan momen revisi Undang Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Nakeswan),"
Banjarmasin (ANTARA News) - Anggota Komisi IV DPR-RI Habib Nabiel Fuad Almusawa berpendapat, ada solusi untuk mengatasi kekurangan bibit sapi dalam negeri Indonesia.

"Solusi tersebut antara lain dengan memanfaatkan momen revisi Undang Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Nakeswan)," ujarnya dalam keterangan pers kepada wartawan di Banjarmasin, Senin malam.

"Revisi UU 18/2009 tersebut saat ini sedang salam pembahasan di DPR," ungkap politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) asal daerah pemilihan (dapil) Kalimantan Selatan itu.

Alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB) Jawa Barat itu mengungkapkan, Indonesia membutuhkan tambahan bibit sapi betina produktif untuk memproduksi bibit di dalam negeri.

"Tapi kita tidak bisa mendatangkan jenis sapi tersebut dengan lelulasa karena kendala UU yang ada," tandas wakil rakyat yang menyandang gelar insinyur dan magister bidang pertanian itu.

Undang-Undang 18/2009, jelasnya, mengatur importasi sapi berdasarkan country based. "Country based artinya seluruh wilayah negara yang bersangkutan terbebas dari penyakit mulut dan kuku. Saat ini negara yang memenuhi syarat tersebut hanya Australia dan Selandia Baru," ungkapnya.

Karena, lnjutnya, pasokan sapi jenis itu sangat minim di kedua negara tersebut. "Pasar sapi betina produktif di Australia dan Selandia Baru ternyata tidak sebesar yang kita bayangkan," ujarnya.

"Padahal kita butuh sapi betina indukan dalam jumlah yang banyak untuk mengatasi kekurangan bibit, dan sekaligus sebagai langkah menuju swasembada daging," tambahnya.

Menurut dia, salah satu penyebab utama tertundanya target swasembada daging pada tahun 2014 karena tidak tersedianya bibit sapi di dalam negeri dalam jumlah yang cukup.

Indikatornya, dalam proses menuju swasembada daging antara tahun 2011 sampai 2013 terjadi pengurangan populasi sapi dalam negeri sebanyak lebih dari dua juta ekor. "Ini artinya, sapi yang dipotong lebih banyak daripada sapi yang lahir," ujarnya.

"Cari dari pasar Australia dan Selandia Baru tidak mencukupi. Kalau cari ke negara lain, melanggar undang-undang," keluhnya.

Ia berpendapat, dalam pembahasan revisi UU 18/2009, ada peluang untuk mengganti pengaturan importasi sapi dari semula country based menjadi zone based.

"Zone based artinya bila ada satu atau lebih zona dalam suatu negara terbebas dari penyakit mulut dan kuku, maka kita bisa mengimpor sapi dari zona tersebut. Bila zone based disepakati, kita tidak tergantung lagi ke Australia dan Selandia Baru," tambahnya.

"Soal country based dan zone based ini belum tuntas dibahas dalam revisi UU 18/2009," demikian Habib Nabiel. (*)

Pewarta: Syamsuddin Hasan
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014