Kita lihat-lihat dulu negara yang sapinya akan kita impor"
Banjarmasin (ANTARA News) - Pembahasan oleh DPR mengenai solusi kekurangan bibit sapi di dalam negeri mengalami jalan buntu (deadlock), kata anggota Komisi IV DPR-RI Habib Nabiel Fuad Almusawa, Selasa.

Pembahasan cara mengatasi kekurangan bibit sapi tersebut bagian dari pembahasan Rencana Undang Undang (RUU) tentang Perubahan Atas Undang Undang (UU) Nomor 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Nekeswan).

"DPR belum sepakat terhadap usulan mengganti pengaturan importasi sapi dari semula country based menjadi zone based yang merupakan usul dari pemerintah," ujarnya dalam siaran pers.

Alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB) Jawa Barat itu menambahkan, zone based diusulkan karena diyakini bisa mengatasi masalah kekurangan bibit sapi di dalam negeri dengan lebih cepat.

Sementara country based maksudnya seluruh wilayah negara yang bersangkutan terbebas dari penyakit mulut dan kuku. Zone based pengertiannya bila ada satu atau lebih zona dalam suatu negara terbebas dari penyakit mulut dan kuku.

Menurut dia, dalam pembahasan tersebut anggota tim perumus (Timus) Perubahan UU 18/2009 terbagi menjadi tiga, yaitu pertama kalangan yang tetap ingin country based.

Kemudian yang kedua, kalangan yang ingin zone based, dan kelompok ketiga, mereka yang mengambil jalan tengah dengan zone based terbatas, ungkap politisi PKS yang menyandang gelar insinyur dan magister bidang pertanian itu.

Ia mengungkapkan, kalangan pertama beralasan country based menjamin keamanan Indonesia tetap terbebas dari penyakit mulut dan kuku.

"Mereka juga keberatan dengan zone based karena saat ini infrastruktur karantina belum siap untuk itu. Untuk mengelolanya karantina harus diberi pulau sendiri," ujarnya.

Sedangkan kalangan yang mendesak diberlakukan zone based beralasan karena Organisasi Dunia untuk Kesehatan Hewan yang berpusat di Paris saja tidak mempermasalahkannya.

Selain itu, Indonesia butuh sapi dari negara lain karena importasi sapi betina produktif dari Australia dan Selandia Baru minim.

"Pasar sapi betina produktif di Australia dan Selandia Baru ternyata tidak sebesar yang kita bayangkan. Padahal kita butuh sapi betina indukan dalam jumlah yang banyak untuk mengatasi kekurangan bibit," paparanya.

"Disamping itu, anak yang lahir dari indukan sapi asal Australia dan Selandia Baru tidak bisa beranak lagi," tambahnya.

Fraksi PKS DPR-RI, menurut dia, mengusulkan zone based terbatas. "Kita lihat-lihat dulu negara yang sapinya akan kita impor," ujarnya.

"Kalau skala penyakit mulut dan kukunya masih tinggi, ya jangan mengimpor dari negara tersebut. Jadi intinya untuk impor, kita perlu pilih-pilih negara asal sapi," lanjutnya.

Ia menjelaskan, salah satu penyebab utama tertundanya target swasembada daging pada tahun 2014 adalah tidak tersedianya bibit sapi di dalam negeri dalam jumlah yang cukup.

Indikatornya, dalam proses menuju swasembada daging antara tahun 2011 sampai 2013 terjadi pengurangan populasi sapi dalam negeri sebanyak lebih dari dua juta ekor. Berarti sapi yang dipotong lebih banyak daripada yang lahir.

Mengenai impor sapi, Habib menegaskan dua ketentuan yang menjadi landasan. Pertama, impor dilakukan sampai terpenuhinya kecukupan bibit untuk mencapai target dan kelangsungan swasembada. "Setelah cukup, impor kita stop," ujarnya.

Kedua, untuk kepentingan penelitian. " Untuk ini tentu kita ingin agar kualitas sapi Indonesia semakin meningkat dari hari ke hari. Untuk itu pula diperlukan sapi impor, maka kita impor dong," demikian Habib Nabiel.

Pewarta: Syamsuddin Hasan
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2014