Papua, provinsi paling timur Indonesia yang dilukiskan penyanyi Edo Kondologit dalam lirik lagunya "Aku Papua" sebagai "tanah yang kaya bak surga kecil yang jatuh ke bumi", menyimpan potensi pebisnis hebat.

Dari daerah itu lahir Joni Haluk, pebisnis kelahiran Kampung Pugima, Wamena, yang membidani kelahiran Asosiasi Pengusaha Anak Adat Papua pada Mei 2005 sebelum organisasi ini menjadi Kamar Adat Pengusaha Papua (KAPP) pada pertengahan 2006.

Dari Tanah Wamena, Provinsi Papua, itu juga lahir seorang perempuan pengusaha muda bernama Novela Nawipa.

Perempuan kelahiran Wamena 14 September 1984 ini menekuni bisnis rumah, tanah dan emas sejak 2009 di atas keyakinannya yang kuat bahwa untuk membangun perekonomian Papua yang lebih baik, "mulailah dari perempuan dan pemuda".

Dengan bekal keyakinan dirinya yang kuat itu, Novela mulai membangun bisnisnya dari hasil "berkebun emas".

Kegiatan jual-beli maupun menggadaikan logam mulia bersertifikat produk Antam untuk mendapatkan dana segar baru guna membeli lebih banyak emas itu dilakukannya dengan tekun.

"Transaksi per harinya bisa sepuluh gram kalau harga emas lagi naik. Saya menjual satu koin emas dan uangnya dipakai untuk membeli dua koin emas. Ini saya lakukan terus-menerus sehingga saya bisa mengumpulkan sampai 20 gram emas," katanya.

Dalam menjalankan kegiatan bisnis rumah, tanah dan emas yang diyakininya tetap berprospek baik ini, Novela memilih sebuah Bank Muamalat sebagai mitra keuangan usahanya karena sistem Syariah dan bagi hasil yang diterapkan bank tersebut terbukti menguntungkan.

"Bagaimana kita bisa saling menguntungkan, itu yang penting buat saya walau saya orang Kristen," katanya.

Keberhasilan yang sementara ini telah dicapainya telah membuat hidupnya relatif berkecukupan secara ekonomi, kondisi yang tak dirasakannya di masa kanak-kanak hingga remajanya. "Saya jatuh bangun tapi saya terus melangkah karena ada cahaya di ujung lorong," ujarnya.

Kondisi ekonomi keluarganya yang terbatas itu telah memaksanya untuk senantiasa kreatif dan bekerja keras untuk meraih cita-cita.

"Saya bekerja apa saja untuk bisa bertahan dan meneruskan sekolah. Sewaktu di sekolah dasar, saya jualan sayur mayur dan hasil-hasil kebun yang lain di pasar. Lalu, saat masih duduk di bangku SMP, saya bekerja sebagai tukang cuci pakaian."

Tamat dari SMP, kehidupan Novela tidak lantas membaik sehingga dia tidak punya banyak pilihan untuk menopang hidupnya. "Waktu duduk di kelas dua SMA, saya pernah menjadi tukang ojek dengan menyasar para penumpang wanita."

Kegetiran hidup itu terus berlanjut hingga dia kuliah di Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ).

Seperti dituturkan Novela, selama di bangku kuliah itu, dia hanya berbekal dua helai celana panjang dan lima potong baju saat kuliah.

Kondisi hidupnya itu tidak membuatnya patah semangat. Sebaliknya, kreativitas anak tertua dari delapan bersaudara ini justru semakin terbangun.

"Saya pernah membantu rekan kuliah saya menyelesaikan tugas papernya. Dari situ, saya mendapat Rp300 ribu."

"Saya melakukan semua ini karena, sebagai anak tertua, apa pun saya tempuh dengan cara yang halal agar saya bisa menjadi contoh yang baik bagi adik-adik saya," kata pengusaha ini.

Pahit getirnya hidup yang dia rasakan semasa sekolah itu membuatnya ringan untuk membantu sesama.

Bahkan, ibu satu anak yang harus menjadi orang tua tunggal setelah ditinggal mati suami ini menerapkan filosofi "berbagi" dengan sebanyak mungkin orang dari hasil usahanya.

"Cukup bagi saya kuliah dengan mengeluarkan air mata. Saya tidak ingin anak-anak Papua yang lain mengalami hal serupa dengan yang pernah saya alami dulu. Saya buat kolam kebaikan buat mereka," kata dia.

Dari hasil bisnisnya itu, Novela lantas menyekolahkan dua anak asal Wamena dan satu anak asal Paniai. Keduanya telah lulus pendidikan sarjana bidang pendidikan dari Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STIKIP) Abdi Bangsa Paniai.

"Kini mereka sudah menjadi guru di pedalaman Papua. Membangun orang Papua, terutama mereka yang berasal dari pedalamanan, harus dimulai dari pembentukan karakter terlebih dahulu. Di sinilah pentingnya pendidikan. Beri konseling ke anak-anak Papua supaya mereka tahu kemana arah yang benar," katanya.

Sebagai pengusaha yang semasa kuliah pernah aktif dalam kegiatan gereja dan gerakan perempuan, Novela mengatakan dia mendambakan kondisi Papua yang maju dan sejahtera.

Dalam kaitan ini, mantan aktivis Ikatan Perempuan Pegunungan Tengah ini menggarisbawahi pentingnya pembangunan infrastruktur jalan bermutu yang dapat membuka akses berbagai wilayah di provinsi itu dengan senantiasa memperhatikan kepentingan masyarakat setempat.

Akses jalan yang terbatas tersebut, menurut dia, merupakan salah satu akar permasalahan dari lambannya pembangunan di daerah pegunungan. Akibatnya, harga berbagai barang kebutuhan rakyat di sana pun bisa dua kali lipat dari daerah lain, katanya.

"Di Puncak Jaya, harga satu sak semen, misalnya, bisa mencapai Rp1,5 juta padahal di Jayapura hanya Rp80 ribu, di Nabire Rp120 ribu dan di Paniai Rp175 ribu."

Kondisi jalan yang baik juga dirasakan Novela masih dirasakan sehingga di sejumlah daerah, termasuk ruas jalan Nabire - Paniae sepanjang 250 kilometer dapat ditempuh lebih dari sembilan jam saat hujan mengguyur daerah tersebut, katanya.

"Kalau kondisi jalan lagi rusak, harga satu liter bensin pun bisa mencapai Rp50 ribu," kata pengusaha yang menjalankan bisnisnya lewat CV Iyobai ini.

Mempertimbangkan realitas infrastruktur yang ada selama ini dan kondisi alam Papua, Novela memandang moda transportasi yang lebih tepat untuk dikembangkan di Papua adalah kereta api.

"Kereta api ini merupakan solusi. Untuk itu perlu dibangun rel kereta api karena keberadaan kereta api yang menjangkau wilayah-wilayah yang ada merupakan masa depan Papua."

Dalam pandangan perempuan pengusaha kelahiran Wamena ini, ekonomi dan kesejahteraan merupakan kata kunci bagi penyelesaian masalah Papua.

"Kepercayaan rakyat tidak bisa dibeli dengan uang melainkan dengan kerja-kerja nyata yang berorientasi pada kesejahteraan yang berkeadilan bagi mereka," katanya.

Oleh Rahmad Nasution
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2014