"AFTA 2015 akan membuat ekonomi Indonesia menggeliat dan wilayah yang akan pesat pertumbuhannya akibat geliat pasar bebas regional ini adalah kawasan yang berdekatan dengan negara-negara tetangga, seperti Sumatra Utara,"
Jakarta (ANTARA News) - Indonesia memerlukan pakar dan praktisi hukum yang memahami hukum internasional, hukum ekonomi dan perdagangan internasional, termasuk hukum pidana internasional untuk menghadapi ASEAN Free Trade Area (AFTA) 2015, kata salah seorang pejabat Kementerian Luar Negeri.

"AFTA 2015 akan membuat ekonomi Indonesia menggeliat dan wilayah yang akan pesat pertumbuhannya akibat geliat pasar bebas regional ini adalah kawasan yang berdekatan dengan negara-negara tetangga, seperti Sumatra Utara," kata Sesditjen Hukum dan Perjanjian Internasional Kemlu, Damos Dumoli Agusman di Medan, Jumat.

Menurut siaran pers dari Universitas Sumatera Utara yang diterima Antara, Damos Dumoli Agusman mengisi kuliah umum di kampus Fakultas Hukum universitas tersebut. Kuliah umum dibuka Dekan FH USU Prof Runtung Sitepu dan dihadiri ratusan mahasiswa.

Di hadapan mahasiswa, Damos memaparkan tentang kedudukan perjanjian internasional dalam hukum nasional Indonesia, serta persoalan bagaimana norma-norma AFTA beroperasi dan diterapkan terhadap terhadap pelaku-pelaku bisnis dari berbagai negara ASEAN di Indonesia.

"Secara konvensional, norma perjanjian internasional hanya berlaku terhadap negara dan bukan terhadap warga negara, namun pada era pasar bebas perjanjian internasional sudah berlaku intrusif, langsung mengatur perilaku warga negara," tuturnya.

Karena itu, Damos mengatakan semua penegak hukum baik hakim maupun praktisi hukum harus mulai terbiasa untuk menggunakan norma-norma AFTA dalam proses penegakan hukum.

Saat ditanya mahasiswa tentang kesiapan Indonesia merelakan fungsi legislasi diambil forum internasional seperti AFTA, Damos menjelaskan peran serta Indonesia dalam berbagai perjanjian internasional tidak berarti Indonesia melepaskan kedaulatan dan fungsi legislasinya.

Damos mengatakan berlakunya suatu perjanjian terhadap Indonesia membutuhkan persetujuan DPR. Sejak kemerdekaan, Indonesia telah menggunakan instrumen perjanjian internasional sebagai bentuk diplomasi dalam rangka mencapai pengakuan internasional.

"Pengakuan awal terhadap kemerdekaan RI diperolah dari Mesir dan Suriah dalam bentuk perjanjian persahabatan tahun 1947, sehingga Indonesia justru sangat diuntungkan oleh instrumen hukum internasional ini," katanya.

Selain itu, mahasiswa juga mempertanyakan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang bisa menguji dan membatalkan undang-undang termasuk ratifikasi dari konvensi internasional. Seorang mahasiswa khawatir bila itu terjadi, bisa merusak citra Indonesia di dunia internasional.

Terkait hal itu, Damos mengusulkan sistem hukum Indonesia segera mengambil pendekatan yang tepat terhadap perjanjian internasional.

"Dalam hal ini UUD Indonesia harus mengatur persoalan dilematis ini dan diharapkan para pakar hukum tatanegara dan hukum internasional dapat berdialog untuk mencari solusi konstitusional yang cocok untuk Indonesia," katanya.
(D018/M011)

Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014