Jakarta (ANTARA News) - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar mengaku tidak kaget saat dituntut seumur hidup dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi penerimaan hadiah dalam pengurusan 10 sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) di MK dan tindak pidana pencucian uang.

"Sudah enggak kaget, cuma yang kaget itu enggak ada hal yang meringankan. Berarti anda semua lebih bermanfaat dari pada saya. Walaupun saya juga pernah berjasa untuk republik ini," kata Akil seusai sidang pembacaan tuntutan dalam sidang di pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.

Akil dalam perkara ini dituntut seumur hidup dan denda Rp10 miliar.

Jaksa menilai bahwa Akil selaku ketua lembaga tinggi negara merupakan ujung tombak dan benteng terakhir bagi masyarakat dalam mencari keadilan mengakibatkan runtuhnya kewibawaan lembaga MK sebagai benteng terakhir penegakan hukum. Sehingga diperlukan waktu yang cukup lama untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada MK. Akil juga dinilai tidak bersikap kooperatif dan tidak jujur dalam persidangan serta tidak mengakui kesalahan dan tidak menyesali perbuatannya. Namun hal yang meringankan tidak ada.

"Kan yang saya dengar itu tidak ada hal-hal yang meringankan buat saya, itu enggak ada. Hal yang meringankan itu tidak ada sama sekali, berarti anda itu tidak bermafaat sama sekali buat bangsa dan negara," tambah Akil.

Namun, Akil tidak mengakui maupun menyesali perbuatan yang dituntut kepadanya.

"Saya enggak perlu menyesal kalau yang saya tidak lakukan, tapi kalau yang saya lakukan saya menyesal. Perkara pidana itu kan harus disesuaikan dengan fakta yang ada. Kalau faktanya kita enggak lakukan, kenapa kita harus mengakui?" ungkap Akil.

Ketua jaksa penuntut umum Pulung Rinandoro dalam tuntutannya menilai bahwa Akil Mochtar dikenal sebagai praktisi hukum sekaligus doktor di bidang ilmu hukum serta sebagai pegiat antikorupsi yang pernah melontarkan gagasan konsep pemberian hukuman kombinasi antara pemiskinan dan potong salah satu jari tangan bagi pelaku tindak pidana korupsi.

"Publik tentunya masih ingat apa yang diucapkan terdakwa di MK pada tanggal 9 Maret 2012 yang menyatakan: Ide saya dibanding dihukum mati lebih baik dikombinasi pemiskinan dan memotong salah satu jari tangan koruptor saja cukup," kata Jaksa Pulung.

Sehingga, dengan latar belakang keilmuan Akil yang mendekati paripurna, publik menaruh harapan besar pada Akil agar menjalankan tugas selaku hakim dan ketua MK RI dengan berintegritas.

"Terdakwa sebagai seorang hakim sekaligus Ketua MK tidak menjaga amanah dengan melakukan kecurangan penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang yang ada pada dirinya serta menafikkan moralitas yang tinggi yang seharusnya ada pada diri terdakwa," tambah Pulung.

Akil dalam perkara ini dituntut berdasarkan enam pasal.

Terdapat sepuluh pilkada yang sudah memberikan hadiah kepada Akil terkait permohonan keberatan hasil pilkada kabupaten Gunung Mas (Rp3 miliar), kabupaten Lebak (Rp1 miliar), kabupaten Empat Lawang (Rp10 miliar dan 500 ribu dolar AS), kota Palembang (Rp19,9 miliar), kabupaten Lampung Selatan (Rp500 juta), kabupaten Buton (Rp1 miliar), pilkada kabupaten Pulau Morotai (Rp2,99 miliar), pilkada kabupaten Tapanuli Tengah (sekitar Rp1,8 miliar), pilkada kabupaten Merauke, kabupaten Asmat dan kabupaten Boven Digoel (Rp125 juta) dan Rp10 miliar dari sengketa pilkada Provinsi Jawa Timur.

Akil dan tim kuasa hukumnya akan menyiapkan nota pembelaan (pledoi) yang akan dibacakan pada Senin, 23 Juni 2014.

(D017/J008)

Pewarta: Desca Lidya
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2014