Chicago (ANTARA News) - Kenakalan yang dilakukan saat remaja berhubungan signifikan dengan angka kematian akibat kekerasan yang lebih tinggi pada masa dewasa--khususnya akibat senjata api-- dan perempuan termasuk yang paling rentan, demikian menurut studi terbaru Northwestern Medicine di Amerika Serikat.

Menurut hasil studi, perempuan yang semasa remaja nakal hampir lima kali lebih mungkin meninggal dunia akibat kekerasan dibanding populasi umum.

Sementara remaja pria yang nakal tiga kali lebih mungkin meninggal karena kekerasan dibandingkan populasi umum.

Tingkat kematian laki-laki dan perempuan Hispanik masing-masing lima dan sembilan kali lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum.

Studi itu merupakan studi skala besar pertama yang melihat tingkat kematian remaja perempuan nakal dengan menambahkan data baru pada populasi Hispanik, yang sekarang merupakan kelompok minoritas terbesar di Amerika Serikat.

Hasil studi yang dipublikasikan pada 16 Juni di jurnal Pediatrics itu menunjukkan bahwa kematian akibat kekerasan hingga usia 34 tahun diperkirakan menggunakan tiga faktor risiko pada masa remaja seperti masalah konsumsi alkohol, penggunaan obat-obatan terlarang dan keterlibatan dalam geng.

"Temuan kami ini mengejutkan," kata penulis utama studi, Linda Teplin, profesor psikiatri dan ilmu perilaku dari Northwestern University Feinberg School of Medicine.

"Angka kematian dari remaja nakal berusia 15-19 tahun yang menjadi sampel kami, hampir dua kali lipat dari pasukan yang berperang di Irak dan Afganistan," katanya dalam siaran pers publik Northwestern Medicine.

Ia menambahkan kematian dini akibat kekerasan merupakan "kesenjangan kesehatan."

"Remaja yang ditahan secara tidak proporsional miskin dan secara tidak proporsional rasial dan dari etnis minoritas. Kita mesti menangani ini seperti kesenjangan kesehatan yang lain."

Para peneliti melakukan studi menggunakan data studi longitudinal dari proyek Juvenile Northwestern yang melibatkan 1.829 remaja (1.172 laki-laki dan 657 perempuan) berusia 10-18 tahun yang ditahan di Cook Country Juvenile Temporary Detention Center, Chicago, antara 1995 dan 1998.

Para peneliti mewawancarai mereka dan mengamati perkembangan mereka menggunakan data resmi rekaman kematian hingga 16 tahun setelah wawancara awal.

Remaja yang terlibat dalam studi dipilih secara acak sebelum kasus mereka diselesaikan dan belum terbukti melakukan kejahatan.

Dari seluruh peserta studi itu, 111 di antaranya meninggal dunia, 75 orang (68 persen) di antaranya merupakan korban pembunuhan dan 68 di antaranya terbunuh dengan senjata api.

Orang Afrika-Amerika 4,5 kali lebih mungkin meninggal dunia akibat pembunuhan dibandingkan orang non-Hispanik berkulit putih.

"Pencegahan adalah kunci. Kita perlu mengurangi kemungkinan anak muda menjadi nakal. Dan jika mereka tertangkap dan ditahan, kita perlu mengintervensi untuk mengurangi kekerasan. Di lain pihak, pelaku kejahatan seringkali menjadi korban," ujar Teplin.

Teplin mencatat, kebanyakan remaja nakal melakukan kejahatan karena mengalami masalah kejiwaan dan tidak mendapat penanganan. Misalnya, mereka bisa menyalahgunakan obat untuk mengobati sendiri depresi mereka dan menjual obat untuk mendapatkannya.

"Remaja-remaja ini terlepas dari sistem pelayanan kesehatan dan jatuh ke jaring peradilan anak. Kita harus menghindari stereotip bahwa remaja nakal hanya anak-anak yang tidak baik. Banyak yang awalnya bukan penjahat, tetapi sekali ditahan, mereka berada di jalan penuh risiko," demikian Teplin.

Penerjemah: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2014