Jakarta (ANTARA News) - Debat calon presiden yang ketiga mengenai Politik Internasional dan Ketahanan Nasional lebih hidup dan terbuka dibandingkan dengan dua debat sebelumnya. Jargon-jargon mengutamakan kepentingan rakyat selalu ditampilkan dalam setiap debat capres tersebut.

Waktu debat yang sempit memang menyebabkan hal-hal substansial kurang tergali dari visi dan misi maupun program kerja yang akan diterapkan Prabowo Subianto atau Joko Widodo jika terpilih sebagai Presiden ke-7 RI.

Dalam debat yang membahas masalah ketahanan nasional itu, ada hal-hal menarik yang diungkapkan kedua capres itu. Misalnya calon presiden (capres) Prabowo Subianto mengatakan, pengadaan tank tak berguna jika rakyat tidak sejahtera sehingga pertahanan terbaik adalah kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Ia mengatakan hal itu menanggapi capres Joko Widodo yang mempertanyakan pengadaan tank Leopard dari Jerman, padahal panser Anoa buatan dalam negeri sedang dikembangkan.

Joko Widodo, yang akrab disapa Jokowi, menilai tank Leopard tak cocok dengan kondisi Indonesia, sementara Prabowo menyebutkan panser Anoa dan tank Leopard dibutuhkan.

Meski berbeda pendapat, namun Prabowo dan Jokowi sepakat bahwa yang terpenting adalah memajukan industri pertahanan dalam negeri agar tidak terus bergantung kepada negara lain.

Dalam menghadapi ancaman dari luar negeri, baik Prabowo maupun Jokowi mempunyai komitmen tinggi untuk menjaga kedaulatan bangsa dan negara.

Prabowo menyebutkan, ancaman bagi Indonesia berasal dari dalam dan luar negeri. Ancaman terbesar dari luar negeri adalah klaim atas wilayah Indonesia, sementara ancaman dari dalam negeri adalah kemiskinan, termasuk kekuasaan bangsa Indonesia atas kekayaan alamnya sendiri.

Prabowo menegaskan, tak sejengkal pun wilayah Indonesia bisa lepas, sementara Jokowi menyatakan Indonesia harus bersikap tegas terhadap negara lain yang menduduki atau mengklaim wilayah negara ini.

Debat capres itu menunjukkan bahwa Prabowo maupun Jokowi sama-sama berkomitmen tegas mengambil langkah apapun demi menjaga kedaulatan bangsa dan negara.

Tanggapan atas debat capres itu pun berdatangan dari berbagai kalangan pengamat politik, dan tentunya dari tim sukses kedua pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Hatta dan Jokowi-JK.

Menurut Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Budi Susilo Soepandji, pembahasan dalam debat itu kurang mendalam bobotnya, meski secara keseluruhan berlangsung bagus.

Ia menilai masing-masing capres sudah memiliki konsep tentang ketahanan nasional, namun keterbatasan waktu yang menyebabkan pembahasannya kurang mendalam.

Pemaparan kedua calon presiden menyangkut aspek geografis cukup menarik dan mengalir dengan baik. Namun ketahanan nasional juga menyangkut aspek ideologi, ekonomi, sosial politik budaya dan keamanan dengan memperhatikan sumber daya manusia dan alam.

Ancaman dari luar jangan hanya melihat garis batas wilayah antarnegara, renegosiasi kontrak sumber daya alam, karena ada yang lebih besar yaitu penetrasi ideologi dari bangsa lain. Misalnya, Uni Soviet runtuh bukan karena perang atau masalah tapal batas, tapi karena aspek politik. Setelah Uni Soviet runtuh, Yugoslavia juga pecah menjadi beberapa negara.


Rekomendasi ketahanan

Menurut Gubernur Lemhannas, persoalan dalam negeri Indonesia yang menjadi ancaman ketahanan nasional adalah ketidakmerataan pembangunan.

"Kemiskinan, kebodohan, tidak meratanya akses warga negara ke zona ekonomi yang lebih baik, ketimpangan pembangunan antara wilayah barat dan timur pada segi infrastruktur merupakan ancaman dalam struktur ketahanan nasional," kata dia.

Oleh sebab itu, ke depan presiden terpilih sebaiknya memperhatikan soal pendidikan sumber daya manusia.

Saran kepada presiden mendatang, yang disampaikan melalui diskusi, seminar atau kajian, sudah berulang kali disampaikan, dan Presiden mendatang perlu memperhatikannya.

Saran itu sebagian disampaikan sebelum acara debat capres, namun ada juga yang disampaikan sebelum kegiatan tersebut digelar KPU.

Di antara saran yang ditujukan kepada presiden terpilih, salah satunya adalah "Memo to The President" yang ditulis mantan Kaster Panglima TNI Letjen (Purn) Agus Widjojo dan Direktur Pengelola PT Strategic Asia Dr Satish Chandra Mishra.

Dalam buku itu diajukan sejumlah saran. Pertama, disarankan segera pembentukan Dewan Ketahanan Nasional (DKN). DKN adalah badan pengambilan keputusan yang diketuai Presiden. Memang selama ini ada kantor Menkopolhukam yang perannya mendekati DKN, namun Menkopolhukam bukan sebagai pengambil keputusan, hanya sebagai koordinator.

Agar kinerjanya lebih efektif, DKN harus diperkuat dengan staf ahli atau Penasehat Presiden bidang keamanan nasional serta penunjang lainnya.

Kedua, presiden terpilih perlu meningkatkan kompetensi para perwira TNI menyusun cerak biru jangka panjang pertahanan nasional, serta mengintegrasikan Mabes TNI dan Kemenhan.

Ketiga, pembentukan Komando Gabungan Operasi Kewilayahaan, serta mengembalikan fungsi Kodam sebagai Komando Pembinaan Kekuatan TNI AD.

Keempat, menempatkan komando dan fungsi teritorial TNI sebagai bagian dari pertahanan.

Menurut Letjen (Purn) Agus Widjojo, ada agenda sisa-sisa reformasi TNI yang belum dilaksanakan secara tuntas akibat kurangnya sosialisasi dan terjadinya politisasi atasnya.

Terkait itu, ia mengusulkan agar keberadaan Komando Teritorial TNI AD harus sesuai konstitusi, namun tak memiliki kewenangan menjangkau sumber daya nasional sipil di masa damai. Pengelolaan sumber daya sipil di masa damai dilakukan oleh otoritas sipil di daerah, bukan oleh militer.

Fungsi Komando Teritorial (Koter) terendah untuk melaksanakan fungsi pertahanan di masa damai sebaiknya di tingkat Komando Resor Militer, sedang fungsi Koter di Kodim, Koramil dan Bintara Pembina Desa dibekukan.

Ia juga mengusulkan agar yang berwenang meminta bantuan TNI di masa damai adalah kepala daerah yang diajukan kepada Presiden. Dengan demikian, status bantuan adalah operasi bantuan TNI kepada pemda, bukan bantuan TNI kepada Polri.

Sementara itu, dalam wawancara khusus dengan Antara, ia menyebutkan Presiden mendatang perlu mengutamakan pembangunan kekuatan laut dan udara Indonesia, meski biayanya yang dibutuhkan jauh lebih besar daripada membangun kekuatan darat.

"Negara kita adalah negara kepulauan. Karenanya, Presiden mendatang diharapkan mengutamakan pembangunan perkuatan kekuatan laut dan udara Indonesia, meski biayanya jauh lebih mahal. Kita tidak boleh hanya membangun kekuatan darat karena biayanya murah, sehingga mengabaikan pembangunan kekuatan darat dan laut," katanya.

Kondisi Indonesia yang merupakan negara kepulauan serta kondisi konflik regional yang makin rentan terjadi, yang mengharuskan Indonesia harus mengutamakan kekuatan pertahanannya di udara dan laut.

Sehubungan itu, postur ketahanan nasional yang dibangun perlu memperhatikan kondisi Indonesia yang merupakan negara kepulauan. Dengan kata lain, kalau ada militer asing masuk ke wilayah Indonesia, kita harus mampu mendeteksinya lebih awal, kemudian mencegah dan mengalahkannya sesegera mungkin.

"Dalam rangka itu, pembangunan kekuatan di udara dan laut harus menjadi prioritas bagi Presiden mendatang. Kita butuh Angkatan Udara dan Angkatan Laut yang kuat," katanya.

Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 9 Juli 2014 diikuti pasangan capres dan cawapres, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
(H009/Z002)

Oleh Hisar Sitanggang
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014