Jika tembok beton dapat tergerus air dalam waktu 100 tahun, namun pohon dan hutan berdaun lebar yang warga tanam masih akan tumbuh besar."
Sendai, (ANTARA News) - Kumpulan pohon pinus setinggi sekitar 10 meter dengan daun yang jarang dan terletak di tepi pantai menjadi pemandangan yang sering dilihat warga jika berkunjung ke kota Iwanuma di Prefektur Sendai, Jepang.

Wilayah itu rimbun dengan pohon pinus yang berjejer di tepi pantai sebelum tsunami pada 11 Maret 2011 menerjang wilayah itu dengan menghanyutkan permukiman dan pertanian yang ada di wilayah pantai timur laut negeri Sakura.

Sekretaris Jenderal Program Dinding Hutan Raya di Jepang, Makoto Nikkawa, menuturkan sebelum tsunami pada 2013 menerjang, kawasan di tempat itu merupakan sawah dan ladang masyarakat yang dikelilingi oleh hutan pinus yang lebat di sepanjang pantai.

Namun setelah bencana yang memakan korban jiwa sekitar 15. 000 orang terjadi, tempat itu berubah seperti padang tundra yang hampir rata dengan tanah, kata Nikkawa.

"Ketinggian tsunami pada Maret 2011 mencapai sekitar 15-20 meter sehingga menyapu menara pengawas industri yang ada di dekat Bandara Sendai," ujarnya kepada para wartawan yang meliput program pemulihan tsunami di Sendai, Jepang, Sabtu (21/6).

Pemerintah Jepang, ujar Nikkawa, telah membangun dinding penghalang tsunami di bibir pantai setinggi 4,8 meter. Namun ternyata kekuatan tsunami mampu menjebol dinding tersebut tanpa sisa.

Kendati kota tersebut telah diluluhlantakkan oleh tsunami 3/11, termasuk sebuah bandar udara besar Sendai, Nikkawa mengatakan dia dan masyarakat Jepang tidak patah semangat dan akan lebih bersiap menghadapi bencana yang akan datang.

Program dinding hutan raya yang telah dirintis sejak 2012 menjadi salah satu semangat warga Jepang untuk membangun kembali tempat yang "gundul" karena tsunami menjadi sebuah kawasan yang hijau dan berguna.

Proyek Dinding Hutan Raya bertujuan untuk menata ulang dan memperbaiki alam yang rusak setelah diterjang bencana tsunami.

Selain itu program tersebut juga untuk mengurangi dampak yang bisa di timbulkan oleh tsunami.

Memang sekilas pembenahan yang telah dilakukan selama dua tahun itu belum terlihat maksimal karena pohon yang ditanam belum tumbuh besar, hanya sekitar 50-80 centimeter.

Kendati demikian, dibanding tahun sebelumnya, ujar Nikkawa, pemulihan kawasan sudah jauh lebih baik dengan perbukitan hijau dan koridor jalan yang ditinggikan untuk menghubungkan tiga bukit setinggi 15 meter yang dikelilingi pepohonan kecil.

"Pada Agustus 2011 kami mulai pengumpulan dana untuk donasi penanaman pohon yang harus dibeli. Kemudian pada 2013 kami mulai menanam bersama ribuan relawan penanam," kata Nikkawa.

Dia mengatakan pemerintah pusat tidak memberikan bantuan dana untuk pohon yang dibeli, sehingga organisasi tersebut mencari dana dari donatur untuk membeli pepohonan.

Pemerintah memberikan fasilitas mesin berat seperti ekskavator dan buldoser untuk membangun bukit yang memiliki lebar 12 meter di sepanjang pantai.

Penghalang tsunami
Konsep penghalang tsunami yang akan dijalankan oleh program tersebut adalah penghalang pertama tsunami merupakan dinding beton dengan tinggi sekitar 10 meter.

Kemudian penghalang kedua adalah kumpulan pohon pinus besar yang ditanam di depan bukit buatan setinggi 15 meter tersebut.

Setelah itu, pepohonan yang tumbuh besar di lereng bukit juga akan membantu mengurangi kekuatan tsunami untuk mencapai wilayah penduduk atau pun industri di pinggir pantai kota Iwanuma, Sendai.

Untuk membangun satu bukit, organisasi membutuhkan setidaknya 20 ribu meter kubik beton dan 15 ribu meter kubik tanah yang subur untuk penanaman pohon.

"Dari total target kawasan yang hendak kami hijaukan sepanjang 300 kilometer, baru dua kilometer saja yang tercapai. Kami butuh bahan untuk membuat bukit, yaitu reruntuhan bangunan bekas tsunami. Selain itu total kawasan yang ingin kami hijaukan terletak di Prefektur Miyagi, Fukushima serta Iwate yang begitu luas," tambah Nikkawa.

Objek wisata
Selain untuk perlindungan dari tsunami, organisasi berharap setelah pohon yang ditanam tumbuh tinggi, nantinya tempat itu bisa menjadi objek wisata bagi masyarakat sekitar dan juga turis asing.

"Kawasan bukit ini bisa dibilang dinding abadi. Jika tembok beton dapat tergerus air dalam waktu 100 tahun, namun pohon dan hutan berdaun lebar yang warga tanam masih akan tumbuh besar. Itulah yang kami ingin tuju dalam ratusan tahun sebagai perlindungan," ujar Nikkawa.

Organisasi tersebut membutuhkan dana sekitar 700 yen atau sekitar Rp83 ribu untuk membeli satu pohon. Bagi donatur atau masyarakat internasional yang ingin menyumbang untuk penanaman pohon bisa melihat keterangan lebih lanjut di laman http://greatforestwall.com/.

Kakek para tiram
"Sayangi hutan, maka hutan akan kembali menyayangimu", itulah hal yang Antara pertama kali mengerti setelah mendengar penjelasan dari si "Kakek para Tiram", Hatakeyama Shigeatsu, atas upayanya mengkonservasi hutan di sekeliling daerah yang terkena tsunami di kota kecil Kesennuma, Prefektur Miyagi, Jepang.

Apa yang dilakukan oleh Shigeatsu tidaklah sederhana. Pada awalnya sebelum tsunami, dia berniat untuk membersihkan kondisi air laut sehingga produksi tiram di wilayah itu kembali bangkit.

Shigeatsu adalah pemimpin atau Presiden dari organisasi lingkungan NPO Mori-umi Moune Forest-Sato-Sea Studies yang mengkonservasi hutan seluas 10 hektar di wilayah Kesennuma.

Dia juga menjadi pembudidaya tiram di daerah pegunungan tersebut.

Shigeatsu mulai menanam kembali pepohonan di hutan karena produksi air di hutan itu, menurut dia, menurun sehingga menyebabkan berkurangnya plankton sebagai makanan bagi tiram yang ditandai dengan berubahnya warna pada tiram.

"Selama beberapa tahun belakangan produksi tiram kembali berkualitas. Masyarakat harus menjaga kualitas air yang dibuang ke laut yang bersumber dari hutan dan pegunungan," kata Shigeatsu yang dijuluki "Kakek para Tiram" atas upayanya menjaga kelestarian lingkungan oleh masyarakat Jepang.

Menurut Kakek para Tiram, kegiatan organisasi tersebut adalah difokuskan untuk menanam pohon di kawasan yang gundul serta menyemai bibit baru untuk ditanam di sekeliling kawasan pegunungan.

Ada sekitar 40 jenis pohon yang umumnya berdaun lebar tumbuh di kawasan tersebut.

"Jika hutan gundul, tidak akan ada ikan yang datang kembali ke hulu. Jika bersih, tidak hanya tiram yang akan berkualitas bagus, namun ikan seperti salmon juga akan berkumpul dan bertelur di sana karena banyaknya makanan," kata Shigaetsu.

Dia menjelaskan, dedaunan jatuh dari pohon di hutan akan membusuk di sungai dan membawa makanan bagi plankton serta mikroorganisme lainnya sebagai makanan bagi tiram dan bermacam jenis ikan.

Jika air dari hulu bersih dan mengandung banyak mikroorganisme, maka aliran ke hilir di laut juga akan menjadi tempat pilihan bagi ikan laut untuk mencari makan sehingga perikanan dapat berlimpah.

"Teluk Sanriku merupakan salah satu kawasan memancing terbaik di dunia. Sudah ada peningkatan air laut sejak beberapa tahun lalu dimana kualitas tiram kembali membaik dan mikro-organisme kembali melimpah di perairan yang terkena tsunami," ujar Shigaetsu yang menambahkan dirinya dan pembudidaya lain butuh waktu sekitar satu tahun untuk memulihkan kondisi tiram pasca tsunami 2011.

Melihat upaya yang sedang dibangun di Kota Iwanuma dan Kesennuma, Jepang, mengingatkan kembali upaya antisipasi tsunami di kawasan di Pantai Panjang, Bengkulu.

Pemerintah provinsi setempat telah mendirikan dinding pemecah ombak dengan tinggi sekitar dua meter sebagai penghalang tsunami dan menanam pohon pinus di sepanjang pantai tersebut.

Kendati pohon tersebut sudah ada yang tumbuh lama, pemerintah juga menanam pohon tambahan di beberapa titik pantai.

Selain itu pemprov Bengkulu juga telah membuat area tersebut sebagai kawasan wisata karena rimbunnya pepohonan, keadaan yang tenang serta keindahan pantai pasir putih.

Mungkin itu yang hendak dibangun oleh masyarakat Jepang di Iwanuma saat ini.

Selain sebagai sumber oksigen dan pelestarian alam, pepohonan dan bukit yang memanjang di pantai bisa berguna sebagai penahan kekuatan tsunami ke daratan.

Oleh Bayu Prasetyo
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014