Pada 2013 misalnya, impor pangan periode Januari – Oktober mencapai 7,73 miliar dolar AS dengan impor bahan-bahan pangan utamanya beras, terigu, kedele, kacang hijau, jagung, daging, ikan, buah-buahan, bawang, cabai, singkong sampai garam,"
Jakarta (ANTARA News) - Presiden terpilih mendatang harus mampu mengurangi impor produk pertanian karena nilainya sangat tinggi sementara Indonesia adalah negara agraris, kata pemerhati pertanian Sutrisno Iwantono.

"Pada 2013 misalnya, impor pangan periode Januari – Oktober mencapai 7,73 miliar dolar AS dengan impor bahan-bahan pangan utamanya beras, terigu, kedele, kacang hijau, jagung, daging, ikan, buah-buahan, bawang, cabai, singkong sampai garam," kata Presiden Kelompok Kerjasama Petani Asia yang juga Ketua harian Himpunan Kerukunan Tani Indonesia tersebut di Jakarta, Jumat.

Menurut Iwantono dalam keterangan tertulisnya, kecuali untuk gandum, seharusnya untuk bahan-bahan pangan dasar seperti tersebut dapat diproduksi oleh petani Indonesia sepanjang para petani memang mendapat dukungan dari sisi produksi sampai pemasaran.

Iwantono sangat mendukung apabila kelak presiden dan wakil presiden terpilih akan memperkuat sektor pertanian mulai dari SDM-nya melalui pendidikan keterampilan, penyuluhan, kewirausahaan yang berorientasi pasar, sehingga petani mampu mencapai kondisi surplus.

"Petani harus surplus agar bisa punya tabungan sehingga dapat belanja teknologi, beli bibit unggul serta mampu menyekolahkan anaknya lebih baik,"ungkapnya.

Selama petani belum surplus dari usaha pertaniannya, maka petani tidak aka termotivasi untuk menghasilkan bahan-bahan pangan lebih banyak. Konsekwensinya, produksi pangan kurang dan Indonesia akan terus menambah impor bahan-bahan pangan karena jumlah penduduk yang terus meningkat.

Jika impor pangan terus meningkat karena produksi pangan tidak mampu memenuhi kebutuhan, maka pengeluaran devisa akan semakin besar dan defisit pembayaran Indonesia juga akan semakin membengkak. “Sebagai catatan, dua tahun terakhir yaitu 2012 dan 2013 Indonesia mengalami defisit neraca pembayaran yang disebabkan makin besarnya impor BBM dan bahan pangan.”

Untuk itu, kata dia, gagasan revolusi mental yang disampaikan pasangan seorang capres sangat relevan untuk mendukung sektor pertanian karena sebagian besar petani sampai saat ini masih kurang dalam pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia (SDM)-nya.

"Revolusi mental intinya adalah melakukan perubahan secara revolusioner terhadap perilaku manusia. Di sektor pertanian masalah utama memang SDM kita kurang dalam hal pendidikan, keterampilan dan kreativitas,” ujarnya.

Tanpa pembenahan dari hal yang mendasar yaitu SDM, tutur dia, Indonesia akan semakin tergantung kepada pangan impor dan petani dalam negeri tidak bisa meningkatkan kesejahteraannya.(*)

Pewarta: Unggul Tri Ratomo
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014