Permodalan BTN apa sanggup atasi backlog? Padahal dengan dihapuskannya KPR FLPP, otomatis pangsa pasar (BTN) akan berkurang."
Jakarta (ANTARA News) - Pengamat perbankan Reagy Sukmana meragukan kemampuan PT Bank Tabungan Negara (BTN) membiayai kredit pemilikan rumah (KPR) tanpa skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dari pemerintah.

"Porsi KPR bersubsidi dengan menggunakan skema FLPP paling banyak diserap oleh BTN yaitu mencapai sekitar 90 persen, kalau ini dihentikan, pasti akan berpengaruh," ujar Reagy di Jakarta, Rabu.

Sebelumnya pemerintah memutuskan menghentikan penyaluran bantuan kredit pemilikan rumah (KPR) dengan menggunakan skema FLPP bagi rumah tapak mulai 1 April 2015.

Dengan dicabutnya fasilitas tersebut, lanjut Aryo, akan membuat porsi KPR subsidi yang menjadi pasar BTN akan menciut. BTN akan semakin memperbesar pembiayaan KPR nonsubsidi, seperti tren yang telah terjadi sejak tahun 2009, padahal BTN dilahirkan untuk membiayai rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Berdasarkan laporan keuangannya, porsi KPR bersubsidi BTN pada 2009 masih mencapai 60 persen, namun per Maret 2014 tinggal 43,07 persen. Sebaliknya, porsi pembiayaan KPR nonsubsidi pada periode yang sama kian membesar dari 39,54 persen menjadi 57 persen.

Direktur Utama BTN Maryono mengakui, pihaknya akan bertransformasi membiayai pasar rumah nonsubsidi, jika kredit FLPP untuk rumah tapak dicabut oleh pemerintah.

Sebelumnya, melalui Peraturan Menteri Perumahan Rakyat (Permenpera) Nomor 3 Tahun 2014, Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz mencabut FLPP bagi rumah tapak mulai 1 April 2015, untuk kemudian FLPP hanya disediakan untuk rumah susun. Adapun suku bunga FLPP adalah sebesar 7,5 persen fixed sepanjang jangka waktu kredit.

Persyaratan mendapatkan FLPP adalah mereka yang berpenghasilan Rp4 juta untuk rumah tapak dan Rp7 juta untuk rumah susun serta sudah pernah bekerja selama setahun.

Adapun harga rumah tapak yang berhak mendapatkan FLPP berkisar dari yang terendah Rp113 juta (di Lampung) dan tertinggi Rp185 juta (di Papua). Untuk rumah susun, harga terendah adalah Rp248,4 juta (Sulawesi Tengah) dan tertinggi Rp565,2 juta (di Papua).

Menurut Reagy, jika pencabutan FLPP bagi rumah tapak diberlakukan maka yang paling diuntungkan adalah pengembang rumah vertikal, karena rumah tapak semakin berkurang porsinya.

Reagy menyayangkan gagalnya konsolidasi perbankan yang digagas Dahlan Iskan yakni wacana akuisisi BTN oleh Bank Mandiri. Menurutnya, saat pasar bebas ASEAN diberlakukan pada 2015, bank-bank asing pasti akan menggarap segmen rumah nonsubsidi.

"Mustahil BTN dengan kondisinya saat ini akan mampu bersaing. Cara paling elegan untuk bersaing bagi BTN adalah dengan diakuisisi oleh Bank Mandiri untuk memperkuat struktur permodalan," ujar Reagy.

Reagy menuturkan saat ini secara struktural, BTN tidak akan sanggup mengatasi "backlog" perumahan yang mencapai 15 juta unit.

"Permodalan BTN apa sanggup atasi backlog? Padahal dengan dihapuskannya KPR FLPP, otomatis pangsa pasar (BTN) akan berkurang," kata Reagy yang juga anggota Aliansi Profesional Muda Pasar Modal Indonesia (APMPMI).

Menurut dia, jika BTN menjadi anak usaha Bank Mandiri, BTN akan mampu menjadi "the most powerful mortgage bank" di Indonesia, mengingat keterbatasan likuiditas, jaringan, dana mahal dan suku bunga KPR yang tinggi, bisa ditutup oleh Bank Mandiri.  (C005/A039)

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014