Banyak anak yang sudah normal dan dibawa pulang oleh orangtuanya."
Bandung (ANTARA News) - Sekolah Khusus Autisma Bunda Bening Selakshahati merupakan satu-satunya sekolah berbentuk yayasan di Bandung yang menangani anak-anak autis dengan cara terapi berasrama.

Sekolah itu berada di kaki Gunung Manglayang, di Kampung Cibiru Beet Hilir, Desa Cileunyi Wetan, Kabupaten Bandung.

Udara yang masih bersih, sejuk, serta jauh dari kebisingan jalan raya seperti di kampung itu, menurut pengelolanya, merupakan suasana yang membuat anak-anak autis merasa nyaman hingga mereka lebih mudah berinteraksi langsung dengan lingkungan sekitar.

Alam Muhammad Ferdiansyah (21), terapis di sekolah tersebut, mengatakan, lingkungan seperti itu cocok untuk terapi anak-anak yang memiliki gangguan perkembangan seperti murid-muridnya.

"Polusi yang tinggi serta kebisingan perkotaan jelek untuk perkembangan anak, khususnya anak-anak yang antisosial," ujar Alam.

Sebelumnya, sekolah itu berdiri di Jatinangor, Sumedang. Namun, letaknya yang berada di antara apartment, pusat perbelanjaan, dan dekat dengan jalan raya membuat pemilik yayasan khawatir terhadap proses tumbuh kembang anak didiknya.

"Hawanya yang panas, dilengkapi dengan kebisingan jalan raya membuat anak-anak susah tidur dan susah berinteraksi dengan lingkungan," ujar pemilik yayasan tersebut yang akrab dipanggil Bunda Bening.

Saat ini Bunda Bening memiliki 20 anak autis yang menjalani terapi di yayasannya.

Satu bangunan sekolah dan dua bangunan asrama yang terpisah menjadi rumah dan tempat bermain anak-anak di sana.

Semenjak berdiri pada 2001, menurut Bunda Bening, lebih dari 100 anak autis menjalani terapi di sekolah yang dikelola yayasannya.

Anak-anak yang telah bias bergaul secara normal kembali ke orang tuanya, dan banyak dari mereka bisa bersekolah di sekolah umum dan ke universitas.

"Banyak anak yang sudah normal dan dibawa pulang oleh orangtuanya," katanya.

Menurut dia, tingkat gangguan dan perkembangan anak-anak autis berbeda-beda sehingga lama terapi yang diperlukan juga bergantung pada perkembangan anak-anak itu.

Kebanyakan siswa yang tinggal di yayasan itu berasal dari Jakarta dan Bandung.

Namun, tak sedikit juga anak-anak yang berasal dari luar pulau dititipkan oleh orangtuanya di sana.

Ada sejumlah anak yang datang dari Lampung, Kalimantan, Padang. Ada juga yang menjalani terapi perilaku di yayasan itu.

Sekolah autisma itu menerapkan prinsip satu guru menangani satu murid dengan dibantu oleh terapis berpengalaman dalam menangani anak anak autistik.

"Tapi, apabila keadaannya sudah membaik dan otaknya sudah tenang, mereka juga bisa belajar bersama-sama," kata Alam.

Kurikulum yang digunakan sebagai acuan adalah kurikulum Diknas PLB yang dipadukan dengan metoda tata laksana ABA/Lovvas.

Menurut Bunda Bening, kurikulum tersebut dipilih karena memang belum ada kurikulum khusus buat anak autis.

Menariknya, kata dia, anak-anak itu ternyata memiliki insting yang kuat, apalagi dalam hal waktu.

Setiap hari, anak-anak yang menjalani terapi dengan menetap di asrama itu memiliki jadwal khusus untuk sekolah, makan, ibadah, tidur, terapi, mandi, dan yang lainnya.

"Tanpa melihat jam, mereka selalu saja hafal waktu di mana mereka harus melakukan sesuatu," kata Bunda Bening.

Ketika adzan Subuh berkumandang, kata dia, mereka sudah bangun dan bersiap-siap untuk melakukan shalat berjamaah.

Mereka hafal bacaan shalat dan doa-doa pendek karena hampir setiap hari para terapis mengajarkan hal itu.

Mereka sekolah dari pagi sampai sore dan mendapat pelajaran ataupun terapi yang dilakukan oleh terapis khusus masing-masing.

"Tapi jika waktu libur tiba, mereka diberi waktu untuk tidur siang dan bermain bersama di asrama," katanya.

Walau dalam waktu libur, kata dia, setiap hari mereka harus melakukan terapi okupasi, sensorik, dan yang utama yaitu terapi perilaku.

Setelah melewati aktifitas yang cukup padat setiap harinya, mereka wajib tidur pada jam 8 malam.

Menurut Alam, proses normalisasi anak-anak autistik memang sulit karena autis bukanlah sebuah penyakit.

Karena itulah terapi yang dilakukan mengutamakan terapi perilaku dengan maksud memperbaiki kerusakan otak secara perlahan.

Sejauh ini, Sekolah Khusus Autisma Bunda Bening Selakshahati, kata Alam, berhasil membuat beberapa siswanya normal seperti anak-anak pada umumnya.

"Beberapa siswa sudah ada yang dibawa pulang oleh orangtuanya dan bisa melanjutkan sekolah di tingkat pendidikan yang sama dengan yang lainnya," katanya.

Tak tega
Pada awalnya, Bunda Bening menangani anak-anak tunawicara dan anak-anak yang kesulitan belajar.

Saat itu lulusan S1 Pendidikan Agama Islam itu juga belum membentuk yayasan.

Pada suatu ketika, kata Bunda Bening, dia merasa tiga tega melihat banyaknya anak-anak autis yang dipandang sebelah mata oleh orang lain.

"Bahkan ada orang tua yang menyembunyikan anaknya yang autis dari pandangan orang lain," katanya.

Berangkat dari rasa tak tega itu, menurut dia, mulailah usaha mendidik anak-anak autistik dimulai.

Perempuan itu membuat sebuah sekolah khusus untuk anak autis secara mandiri, tanpa bantuan pihak lain.

Dengan kemandirian itu, katanya, tak pernah ada rasa kekurangan meski harus memikirkan keberlangsungan hidup anak didiknya sendirian.

Dia mengaku merasa bahagia dan bangga bisa memahami dan mengurus anak-anak yang kadang dipandang sebelah mata oleh orang lain.

Berawal dari membuat sebuah blog yang berisi profil, visi misi, serta proses normalisasi anak-anak autis, akhirnya sekolah itu dikenal oleh beberapa orang.

"Mungkin karena orang tua mereka searching di internet tentang terapi anak autis dan saling bertukar informasi, akhirnya banyak yang datang ke sini mendaftarkan anaknya," ujar Alam.

Makin hari, kata Bunda bening, orang tua anak autis semakin terbuka.

"Alhamdulillah kesadaran orang tua mereka sudah tinggi, sudah menyadari bahwa anak mereka juga memiliki hak yang sama dengan yang lainnya," kata Bunda Bening.

Kampung anak autis
Mimpi terbesar Bunda Bening saat ini adalah memiliki sebuah kampung khusus untuk anak-anak autis.

Di kampung itu, kata dia, mereka berinteraksi dengan alam bebas serta lingkungan yang masih asli.

"Jika mimpi itu terwujud, kampung tersebut akan diberi nama Kampung Ramah Autis," katanya.

Untuk keperluan itu, dia membeli tanah seluas 1 ha dengan cara mencicil. Tanah itu berada di di Jampang Tengah, Sukabumi.

Menurut dia, suasana tempat tanah dan sebuah vila kecil yang berada di pegunungan serta diapit oleh hamparan pesawahan dan perkebunan memikat hatinya.

Dia akan memindahkan sekolah berasrama tempat mendidik anak-anak autis itu ke sana.

Ia yakin bahwa suatu saat anak-anak autis dan keluarganya bisa hidup di kampung ramah autis tersebut.

"Mereka bisa berkreasi, menghasilkan mahakarya luar biasa yang akan menghidupi mereka kelak," katanya.

Letak bakal kampong auti itu, yang berada didekat sumber mata air, membuat Bunda Bening merasa bahwa di sana segalanya akan menjadi milik anak autistik.

"Hembusan angin milik kita, air milik kita, sungai milik kita, dan hamparan tanah yang luas juga akan menjadi milik kita," ujar Bunda Bening.

Selain itu, ia juga mengatakan bahwa suatu saat nanti anak-anak autis yang diasuh olehnya akan sukses di kampung ramah autis tersebut.

Keyakinan tersebut diperkuat dengan dukungan para orang tua anak-anak.

Menurut dia, 98 persen orang tua anak mendukung niatnya untuk pindah ke Jampang dan membangun perkampungan khusus untuk anak autis.

Bunda Bening yakin bahwa setiap anak memiliki potensi yang sama, termasuk anak-anak autis yang diterapi olehnya.

Karena itulah, kata dia, dengan doa serta usaha berupa terapi yang berulang-ulang, semua anak penyandang autis bisa normal dengan perlahan.

Menyinggung soal tindakan dari pemerintah, ia mengatakan bahwa pemerintah Indonesia berkewajiban melindungi anak Indonesia.

Menurut dia, hal itu tercermin dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 44. Demikian pula pada UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 133 dan 139, yang mengamanahkan upaya perlindungan dan peningkatan kesehatan bagi anak dengan disabilitas atau anak berkebutuhan khusus, termasuk anak autisme.

"Jika pemerintah tak mampu menangani anak-anak autis di Indonesia, kelak Bunda siap menampung anak-anak tersebut di kampung ramah autis," kata Bunda Bening dengan nada penuh semangat.

Oleh Sapto HP dan Rara Uin
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014