Penegakan hukum dan pemberantasan korupsi tidak boleh dihalangi oleh aturan-aturan yang baru dibuat
Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak memerlukan izin presiden dalam memeriksa anggota Dewan Perwakilan Rakyat pascapengesahan Undang-undang MPR, DPR, DPRD, DPD (MD3).

"Undang-undang Tindak Pidana Korupsi dan UU KPK tetap lex specialis sehingga pemeriksaan anggota DPR tidak perlu izin presiden," kata Ketua KPK Abraham Samad melalui pesan singkat yang diterima di Jakarta, Kamis.

Pada Selasa (8/7), DPR mengesahkan UU MD3, meski diwarnai dengan aksi "walk-out" dari anggota fraksi PDI Perjuangan, Hanura dan PKB.

Dalam rancangan UU tersebut disebutkan bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan anggota DPR harus dengan seizin Presiden, khususnya berkaitan dengan tindak pidana khusus, semisal korupsi.

"Penegakan hukum dan pemberantasan korupsi tidak boleh dihalangi oleh aturan-aturan yang baru dibuat, termasuk produk MD3, karena kalau MD3 memuat aturan tentang itu berarti DPR dan pemerintah tidak punya keinginan memberantas korupsi secara sungguh-sungguh," tambah Abraham.

Padahal, menurut Abraham, korupsi di Indonesia sudah sangat masif sehingga diperlukan tindakan yang progresif, dan bukan membuat aturan yang melemahkan pemberantasan korupsi.

Konsekuensi lain UU MD3 adalah mekanisme pembagian kursi pimpinan DPR dan alat kelengkapan akan dilakukan lewat sistem paket sehingga PDI-P sebagai pemenang pemilu, belum tentu menjadi ketua DPR seperti aturan sebelumnya.

Pasal 84 yang menyatakan pimpinan alat kelengkapan dipilih melalui sistem paket, dalam aturan lalu, yang diatur dalam UU MD3 pasal 82, pimpinan DPR dan alat kelengkapan diberikan secara proporsional sesuai dengan hasil pemilu legislatif.
(D017)

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2014