Bangkok (ANTARA News) - Mantan Perdana Menteri Thailand Yingluck Shinawatra telah kembali ke Bangkok dari liburannya sesuai jadwal, membantah spekulasi bahwa ia mungkin meninggalkan negara untuk menghindari kasus yang sulit, kata media lokal, Senin.

Dia kembali ke ibu kota Bangkok pada sekitar pukul 22.00 waktu setempat, Minggu, dengan jet pribadi dari Singapura dan meninggalkan bandara Don Mueang menggunakan pintu belakang, kata laporan Bangkok Post.

Dengan izin dari junta, Yingluck meninggalkan Thailand pada akhir Juli untuk berlibur di Eropa dan Amerika Serikat, demikian seperti dikutip dari Xinhua.

Selama liburannya, Yingluck dikabarkan menghadiri perayaan ulang tahun ke-65 kakaknya Thaksin Shinawatra, mantan perdana menteri yang kini tinggal di pengasingan, di Paris.

Yingluck akan harus berjuang menghadapi kasus tingkat tinggi di mana Komisi Anti-Korupsi Nasional (NACC) telah menuduhnya melalaikan tugas dalam mengawasi skema perjanjian beras kontroversial.

NACC telah meneruskan kasus ini ke Kantor Jaksa Agung (OAG) untuk dakwaan.

Kejaksaan Agung belum memeriksa bukti dan saksi-saksi untuk memutuskan apakah ada alasan yang cukup untuk menjatuhkan dakwaan terhadap Yingluck di Divisi Kriminal Mahkamah Agung untuk pemegang posisi politik.

Jika terbukti bersalah, Yingluck bisa menghadapi hukuman penjara serta larangan berpolitik selama lima tahun.

Sementara itu, satu panel investigasi Komisi Pemilihan (EC) telah dilaporkan menuduh mantan Perdana Menteri, bersama dengan mantan delapan menteri kabinet lainnya dan kepala polisi nasional, telah menyalahgunakan kekuasaan dengan menggunakan dana publik untuk kampanye pemilihan umum 2 Februari yang telah dibatalkan.

Semua yang terlibat dalam kasus ini akan dipanggil untuk membela diri di hadapan majelis hakim, sambil menunggu tindakan lebih lanjut.

Komisi Pemilu akan harus memutuskan apakah akan membawa kasus tersebut ke Kasus Pemilu Divisi Mahkamah Agung untuk pemerintah.

Jika terbukti bersalah, mereka yang terlibat bisa menghadapi hukuman hingga 10 tahun penjara, denda maksimum 200.000 baht (sekitar 6.186 dolar AS) dan larangan 10 tahun dari kesertaan pemilu.

(Uu.H-AK)

Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2014