Jakarta (ANTARA News) - Golkar menawarkan jalan tengah, diantara nasionalis dan agama. Golkar menawarkan pilihan di antara itu, semacam nasionalis berbau Islam atau Islam berbau nasionalis.

Pernyataan itu disampaikan Associate Professor di Departement of Chinese and Indonesian, School of Modern Language Studies, University of New South Wales, Sydney, Australia, David Reeve.

Ungkapan David itu setidaknya bisa mengidentifikasi pola gerakan politik yang selalu dilakukan Partai Golkar dalam percaturan politik Indonesia, yaitu selalu mengambil "jalan aman" untuk mempertahankan eksistensi dalam kancah perpolitikan, sejak awal berdiri hingga sekarang.

Golkar memiliki sejarah panjang mulai dari kemunculannya di tahun 1950-an sebagai hasil ide Soekarno atas konsepsi anti-partai hingga bertransformasi menjadi partai politik pascareformasi. David membaginya dalam tiga fase transformasi partai tersebut dalam perjalanan sejarahnya.

Pertama, setelah ide antipartai tahun 1950-an lalu berkembang sebagai perlawanan bagi PKI yang pada saat itu mengalami perkembangan pesat.

Fase kedua menurut David Reeve, Golkar digunakan untuk memenangkan orde baru dalam setiap pelaksanaan pemilu. Di era orba, Golkar menjadi salah satu kekuatan rezim yang menopang kekuasaan selama 32 tahun bersama militer dan birokrasi.

Fase ketiga pasca reformasi, Golkar mengubah dirinya menjadi partai politik, tentu saja langkah itu ditempuh untuk melepaskan stigma bahwa Golkar merupakan bagian dari orba dengan bertransformasi menjadi parpol.

Mantan Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tanjung pernah mengungkapkan bahwa apabila internal Golkar tidak melakukan pembaharuan saat reformasi maka partai itu tidak akan mampu bertahan dalam sistem perpolitikan yang berubah drastis pascareformasi.

Salah satu bentuk pembangunan politik Indonesia pascareformasi adalah memberikan kesempatan luas untuk tumbuhnya parpol sebagai salah satu pilar demokrasi.

Pascareformasi, hujatan masyarakat terhadap partai tersebut terus menguat bahkan ada wacana agar Golkar dibubarkan karena diidentikkan pewaris kekuasaan orba. Hal itu disebabkan euphoria demokrasi yang semakin menguat dalam masyarakat Indonesia, namun elit Golkar segera melaksanakan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) tahun 1998 dengan menghasilkan keputusan agar Golkar menjadi sebuah parpol.

Langkah transformasi Golkar itu terus mendapat kritikan dan kecaman dari masyarakat namun tetap dijalankan dan hasilnya pada tahun 2004 Partai Golkar merajai Pemilu Legislatif dengan meraih 21,58 persen suara atau 24.480.757 suara.

Sejarah singkat tersebut menjelaskan bahwa partai tersebut selalu mengambil posisi aman atau jalan tengah dari setiap sikap serta keputusan politiknya. Hal itu tentu saja dilakukan untuk terus mempertahankan eksistensi partai berlambang pohon beringin tersebut.


Dinamika Internal Golkar

Majunya Jusuf Kalla (mantan Ketum Golkar) sebagai wakil presiden Joko Widodo dalam Pemilu Presiden 2014 membuat ekskalasi politik di internal Golkar semakin dinamis. Hal itu ditunjukkan dengan merapatnya beberapa kader partai tersebut dalam tim pemenangan pasangan nomor urut dua itu.

Dalam perkembangannya, kader Golkar yang mendukung pasangan Jokowi-JK dipecat karena partai tersebut secara institusi mendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Komisi Pemilihan Umum akhirnya memutuskan bahwa pasangan Jokowi-JK menjadi presiden dan wakil presiden terpilih dengan raihan suara sebanyak 70.997.833 (53,15 persen) dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa 62.576.444 (46,85 persen) dengan total suara sah 133.574.277.

Pascaputusan KPU itu, ekskalasi di internal Golkar semakin dinamis karena secara politik, koalisi merah-putih yang memasukkan Golkar di dalamnya gagal merebut kekuasaan di pilpres. Wacana agar Golkar merapat ke kubu Jokowi-JK pun semakin mengemuka, dengan alasan bahwa partai tersebut tidak pernah berada di luar pemerintahan, dan itu dinilai sebagai tradisi internalnya.

Di setiap era pemerintahan pascareformasi, mulai dari Abdurahman Wahid, Megawati Soekarnoputri hingga Susilo Bambang Yudhoyono, Partai Golkar selalu berada dalam pemerintahan, artinya berkoalisi dengan pemerintahan yang menang.

Misalnya di Pilpres 2004, Partai Golkar mengusung pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid namun kalah bahkan tidak masuk ke putaran kedua. Namun dalam perkembangannya, tampuk kekuasaan Golkar direbut oleh Jusuf Kalla yang saat itu menjadi Wakil Presiden mendampingi Presiden Yudhoyono.

Saat itu otomatis Golkar masuk dalam pemerintah dan menempatkan beberapa kadernya dalam pos-pos kementerian seperti menteri Partai Golkar adalah Menko Kesra Aburizal Bakrie, Meneg PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzeta, Menperin Fahmi Idris, Menkum HAM Andi Mattalatta.

Lalu di Pilpres 2009, Golkar mengajukan Jusuf Kalla-Wiranto sebagai capres dan cawapres, namun kalah dari pasangan SBY-Boediono. Di kabinet SBY-Boediono, Golkar mengambil peran dengan menempatkan beberapa kadernya seperti Menteri dari Golkar Agung Laksono, Fadel Muhammad (digantikan Syarif Cicip Sutardjo), M.S Hidayat.

Lalu pascaPilpres 2014, beberapa elit Golkar menegaskan partai itu akan setia berada dalam koalisi Merah Putih yang sejak awal mendukung pencalonan Prabowo-Hatta. Misalnya Ketua DPP Partai Golkar Bidang Organisasi dan Kaderisasi, Mahyudin yang menegaskan partainya akan tetap konsisten di dalam koalisi merah putih.

Dia menjelaskan, konsistensi partai golkar tidak akan mundur dari koalisi permanen merah putih, karena Koalisi Merah Putih itu dibangun dengan semangat kebersamaan. Menurut Mahyudin, ada kemungkinan menjadi oposisi, meskipun ada sebagian kader yang tidak terbiasa menjadi oposisi dan ingin tetap berada di dalam pemerintahan.

Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham mengatakan Ketum Partai Golkar yang akan datang adalah yang pro Koalisi Merah Putih. Karena itu kesepakatan koalisi permanen bersama dengan partai koalisi Merah Putih lainnya akan tetap berjalan meskipun ada pergantian pengurus di partai tersebut.

Tentu saja pernyataan itu mengindikasikan partai itu akan berada di luar pemerintahan presiden dan wakil presiden terpilih. Dan apabila itu terjadi, maka di luar kebiasaan partai tersebut karena selama ini selalu menjadi mitra koalisi di dalam pemerintahan.

Apabila sikap untuk berada di luar pemerintahan tetap dijalankan Golkar, maka itu merupakan salah satu bentuk transformasi politik partai tersebut dalam perpolitikannya. Golkar bisa mengambil peran signifikan dalam proses "check and balances" terhadap jalannya pemerintahan Jokowi-JK dengan partisipasi aktif anggotanya yang ada di parlemen.

Tentu saja partisipasi aktif di parlemen dalam konteks melakukan fungsi kontrol pada jalannya pemerintahan, bukan sikap menyandera atau proses tawar menawar politik.

Selain itu, selama lima tahun kedepan, Golkar bisa memanfaatkan momentum menjadi partai oposisi untuk memperbaiki struktur dan mesin partai agar lebih solid menyongsong pemilu serentak 2019.

Golkar harus diakui memiliki basis massa yang jelas karena efek kekuasaan 32 tahun, namun hal itu tidak cukup di tengah kondisi politik yang dinamis. Selama lima tahun kedepan, Golkar bisa memanfaatkan "puasa" kekuasaan di kabinet untuk memperluas dukungan di tingkatan akar rumput.

Partai Golkar pun harus menyiapkan figur pemimpin yang diterima rakyat apabila ingin memenangkan pertarungan Pilpres 2019. Karena saat ini dinamika politik di Indonesia, masyarakat cenderung melihat figur dalam menentukan pilihannya di pilpres.

Namun di internal Golkar tidak sepenuhnya secara bulat mendukung posisi partai itu di luar pemerintahan karena ada yang menilai Golkar tidak berbakat menjadi oposisi. Sehingga diperkirakan sikap akhir partai itu akan ditentukan oleh dinamika internal Golkar terkait dengan siapa pengganti Aburizal Bakrie sebagai ketua umum partai.  (I028/Z003)

Oleh Imam Budilaksono
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014