Jakarta (ANTARA News) - Deputi Tim Transisi Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK), Hasto Kristiyanto, berpendapat Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2015 seharusnya menyisakan ruang fiskal yang cukup bagi pemerintahan yang akan datang.

Hasto menyatakan APBN 2015 seharusnya mencerminkan transisi kepemimpinan untuk menciptakan fundamen yang lebih baik bagi perekonomian Indonesia ke depan.

"Namun nampaknya, postur anggaran yang diusulkan tersebut justru sebagai gambaran 'jebakan' politik populis yang terakumulasi sejak tahun 2008. Bahkan dalam politik belanja pun nampak besarnya pengeluaran wajib yang hanya menyisakan sedikit ruang untuk menciptakan kemakmuran untuk rakyat," kata Hasto, di Jakarta, Sabtu.

Ia menilai penyampaian nota keuangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang begitu banyak diwarnai keberhasilan-keberhasilan, namun menjadi tantangan yang berat bagi pemerintahan baru.

"Memang postur anggaran menampakkan belanja negara yang sepertinya melonjak drastis mencapai Rp2.019.9 triliun. Pendapatan negara pun seperti meningkat menjadi Rp1.762.3 triliun. Namun apa makna APBN tersebut dalam perspektif ideologi menjadi bangsa yang berdikari dan kerakyatan?," ujarnya.

Presiden SBY, lanjut dia, seharusnya lebih realistis dan berani mengungkapkan fakta terhadap besarnya persoalan perekonomian nasional tahun 2015 yang akan datang. Masalah itu tidak hanya aspek fundamental berupa rendahnya rasio perpajakan yang besarnya hanya sekitar 12.3 persen.

"Besarnya subsisi BBM dan listrik sebesar Rp364 triliun akibat politik populis dan kegagalan reformasi struktural industri migas menjadi persoalan yang sangat serius.

"Belum lagi utang terhadap Pertamina yang mencoba ditutup-tutupi dengan besaran sekitar Rp 48 triliun akibat beban subsidi BBM tahun lalu yang belum diselesaikan hingga saat ini," tuturnya.

Selain itu, APBN dirancang defisit anggaran sebesar Rp 257 triliun. Seharusnya APBN 2015 dirancang lebih realistis tanpa menyertakan defisit yang mencerminkan ketergantungan negara terhadap pembiayaan yang berasal dari utang luar negeri dan dari pasar uang.

Wasekjen PDI Perjuangan ini melihat postur RAPBN 2015 yang diusulkan oleh Pemerintahan SBY, nampak bahwa sikap kenegarawanan untuk meletakkan fundamen fiskal yang kuat sangatlah diperlukan. Di sinilah proses transisi pemerintahan yang sebenarnya, yakni keberanian untuk membuka berbagai persoalan sistemik yang eksis di dalam sistem perekonomian Indonesia.

"Sayang sekali, pemerintahan SBY tidak terbuka untuk membuka persoalan seperti ketidakberhasilan dalam reformasi perpajakan, dan ketidakmampuan melakukan efisiensi di sistem produksi dan distribusi di sektor perminyakan," paparnya.

Oleh karena itu, tambah dia, kepemimpinan Jokowi-JK akan terus mengkaji berbagai inisiatif baru, tidak hanya sebagai pelaksanaan visi dan misi, namun untuk meletakkan dasar bagi bekerjanya ekonomi berdikari yang percaya pada kekuatan rakyat sendiri.

"Saatnya seluruh gagasan terobosan diambil, yang di satu sisi memastikan penerimaan negara semakin besar, dan disisi lain merombak politik alokasi dan distribusi yang lebih mencerminkan keadilan bagi peningkatan kemampuan rakyat dalam berproduksi," tuturnya. (*)

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2014