"Kita hendak mendirikan suatu Negara `semua buat semua`. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi `semua buat semua`".
Jakarta (ANTARA News) - Perkara intoleransi di Tanah Air tampaknya selalu meresahkan banyak pihak, entah masyarakat maupun kalangan elit.

Belum lama ini Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengeluarkan pernyataan terkait dengan fenomena kelompok radikal yang sedang menjadi pembicaraan di mana-mana, yakni kelompok yang menyebut sebagai Islamic State of Iraq and Syria atau Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS/NIIS).

Menurut Menteri Agama yang menggantikan Suryadharma Ali itu, ISIS/NIIS adalah organisasi pergerakan yang berpaham radikal, menggunakan kekerasan demi memperjuangkan yang diyakininya.

Umat Islam Indonesia, kata Lukman Hakim Saifuddin, harus mendukung upaya negara dan tidak terpengaruh. Dengan kata lain, umat Islam perlu mawas diri dan kritis dalam menyikapi berbagai gerakan radikal yang bisa setiap saat bercokol di Tanah Air.

Masalah intoleransi yang dilahirkan oleh kelompok radikal atau fundamentalis selalu mewarnai kehidupan sosial, di mana pun dan kapanpun.

Rakyat Indonesia punya patokan ideologis yang bisa dipakai dalam menghadang kelompok intoleran dalam berbangsa dan bernegara.

Salah satu patokan ideologis itu adalah isi pidato Bung Karno yang dinyatakan dalam Sidang di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945, yang antara lain berbunyi sebagai berikut:

"Saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini, maupun Saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu Negara semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi semua buat semua".

"Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua!"

"Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua."

Isi pidato yang menjadi salah satu bahan penyusunan dasar ideologi Indonesia itu perlu dijadikan ingatan bersama kapanpun karena isi pidato itu senantiasa relevan sepanjang ancaman intoleransi mengincar keutuhan Indonesia.

Sebetulnya ada strategi yang lebih jitu dalam menghadang radikalisme atau intoleransi dalam sebuah entitas kebangsaan.

Strategi itu berupa mencegahan atas benih-benih radikalisme dan intoleransi.

Ketika Amrozi dan kelompoknya yang radikal meledakkan bom di Bali yang heboh itu, seorang pengamat mengingatkan bahwa tak sulit mencari sosok seperti Amrozi yang rela mengorbankan diri demi ideologi yang dianutnya.

Dikatakan bahwa untuk melahirkan sosok radikal, hanya dibutuhkan dua hal: pendidikan yang dogmatis dan kemiskinan.

Lewat pendidikan yang dogmatis, sejak dini anak-anak dicekoki ajaran atau ayat-ayat suci yang parsial, yang mengagungkan kekerasan.

Kemudian, kemiskinan akan memudahkan anak-anak yang sudah diberi keyakinan dogmatis itu untuk direkrut menjadi sosok yang rela berkorban demi iman ideologisnya.

Ikhtiar mencegah lahirnya bibit-bibit radikalisme itu perlu simultan.

Lembaga pendidikan yang eksklusif dan tertutup perlu dicurigai dan kondisi sosial ekonomi yang memprihatinkan dapat melahirkan aktor militan yang enggan memilih jalan dialogis.

Di samping lahir karena faktor internal, radikalime dan intoleransi bisa juga dipasok oleh kelompok-kelompok eksternal seperti ISIS/NIIS.

Menurut pengamat politik Timur Tengah Zuhairi Misrawi yang juga Ketua Middle East Institute, sejak berdiri pada 2013, ISIS/NIIS menjadi gerakan yang kontroversial baik di dunia Barat maupun di dunia Arab dan langsung menjadi gerakan politik yang solid dan punya sokongan dana yang kuat.

Diprediksi bahwa kelompok ini jauh lebih kuat daripada jaringan internasional Al Qaedah karena ISIS/NIIS mempunyai tanah air dan basis yang mempunyai legitimasi politik.

Gerakan ini mengatasnamakan negara Islam untuk menarik simpati dari seluruh penjuru dunia.

Untunglah di Tanah Air, aparat keamanan telah mengantisipasi fenomena gerakan radikal ini.

Beberapa waktu lalu polisi di Ngawi, Jawa Timur, menangkap GP dan KR yang diduga bersimpati pada jaringan Santoso yang juga simpatisan ISIS/NIIS.

Dalam penggeledahan, polisi menemukan beberapa barang bukti berupa bendera NIIS, senjata api dan amunisi.

Ini menandakan bahwa gerakan radikal itu telah merasuk dalam urat nadi kehidupan masyarakat Indonesia.

Proliferasi atau pengembangbiakan gerakan radikal itu bahkan konon sudah ke kota-kota kecil di Sumatera sehingga kewaspadaan yang tinggi terhadap gerakan itu perlu terus dilakukan.

Sekalipun gerakan radikal itu meresahkan banyak kalangan, pihak aparat tentu harus mengatasi persoalan intoleransi itu dengan cara-cara yang konstitusional.

Mereka yang terduga menyebarkan gerakan radikal harus ditangani secara yuridis.

Aparat keamanan harus memproses semua pihak yang dicurigai dengan menyidangkan perkara mereka di meja hijau.

Dengan demikian, penanganan masalah intoleransiitu harus tetap dalam koridor hak asasi manusia, tidak asal main tangkap dan apalagi asal tembak di tempat.

Radikalisme atau paham yang berideologi kekerasan tak bisa ditangani dengan cara kekerasan.

Tugas menghadang redikalisme harus komprehensif dan tak cuma melibatkan aparat keamanan.

Lebih mendasar dari upaya penghadangan itu adalah menyemai pikiran-pikiran toleran, sikap inklusif pada mereka yang masih menempuh dunia pendidikan dasar dan menengah.

Dan menghayati isi pidato Bung Karno di BPUPKI pada 1 Juni 1945 seperti termaktub di atas juga menjadi bagian dari penanaman nilai-nilai toleran dan inklusif tersebut.

Oleh M Sunyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014