"Selamat sore... Kami dari relawan membaca, apakah kakak-kakak berkenan mendengar kami membacakan buku?" sapa lelaki berseragam coklat-coklat dengan setangan leher merah putih kepada sekelompok remaja yang tengah bercengkerama di rerumputan lapangan Bumi Perkemahan Cibubur.

Para remaja yang semuanya perempuan itu sempat tersentak dengan kehadiran seseorang tak dikenal yang memang tak mereka undang. Satu di antaranya menjawab, "Iya kak. Ada yang bisa kami bantu?"

Lelaki yang sejak datang wajahnya tak berhenti mengembangkan senyum itu langsung ikut duduk meski belum dipersilakan. Sembari melepas kacamatanya, ia memperlihatkan tiga buku yang dipegang kedua tangannya.

"Kakak punya tiga buku tentang Petualangan Tintin. Pilih mana yang kakak bacakan?" tanya dia.

Setelah sepakat menunjuk salah satu buku, lelaki itu mulai membacakan sinopsis disambung kisah awal dalam cerita. Kacamata yang dilepas tadi kembali dipakainya.

"Perkenalkan nama kakak Abdi Matondang. Panggil saja Kak Abdi," tuturnya memperkenalkan diri.

Sekelompok remaja yang semula duduk bersenda gurau, lantas serius memperhatikan dan sesekali meminta pembaca mengulangi kalimat yang kurang dimengerti.

Buku setebal 100 halaman lebih itu memang tidak sampai habis dibaca. Namun, secara umum ia menyampaikan hal terpenting dari tokoh yang terdapat di dalam buku.

"Kalau yang didatangi bersedia dan tertarik, menjadi sebuah kepuasan dan keberhasilan bagi kami," kata Abdi ketika ditemui usai membacakan buku.

Abdi yang sehari-hari menjabat Asisten Andalan Saka Bhayangkara di Kwartir Daerah DKI Jakarta tersebut sedang mempraktikkan kegiatan Pramuka Buku Hidup atau yang biasa disingkat Prabuhi. Program yang sudah dijalankan hampir dua tahun ini diharapkan bisa ikut membantu mengajak masyarakat gemar membaca.

"Tidak hanya remaja saja, tapi dari anak-anak, dewasa hingga berusia lanjut tetap kami ajak. Pasti akan banyak inspirasi dari sebuah buku," kata pria berusia 40 tahun itu.

Kendati demikian, tidak semua mau dan bersedia dibacakan buku. Tidak hanya sekali dua kali, belasan bahkan puluhan kali ia ditolak.

Abdi mengenang kisahnya saat hendak membacakan buku ke sekelompok pemuda di kawasan Gelora Bung Karno Jakarta yang mendapatkan respons negatif.

Saat itu, Minggu pagi, seperti biasa kawasan Senayan dipenuhi oleh ratusan warga Ibu Kota yang berolah raga. Belum pukul 07.00 WIB, Abdi dan tim Prabuhi sudah tiba.

Abdi membagi timnya ke dalam beberapa kelompok yang beranggotakan 4-5 orang dan menyebar mereka ke kerumunan muda-mudi, anak-anak, ataupun keluarga memenuhi Senayan.

Namun, bukan senyum yang mereka dapat. Dua dari enam remaja lelaki yang dia dekati malah memintanya pergi. "Enggak usah Bang. Kami enggak perlu dibacain buku," kata salah seorang pemuda.

Kalau sudah mendengar jawaban seperti itu, lanjut Abdi, maka tidak ada pilihan lain kecuali berdiri dan beranjak dari sana dan beralih ke kerumunan lainnya.

"Tapi ingat, kami harus selalu tersenyum dan menyampaikan ucapan terima kasih, serta meminta maaf karena telah mengganggu waktunya," tutur bapak dari tiga anak tersebut.

Tidak sekali itu ia ditolak. Ketika beralih ke kerumunan berikutnya, timnya malah mendapatkan reaksi lebih buruk. Bukan hanya diminta pergi, tetapi dipanggilkan petugas keamanan Senayan untuk mengusirnya.

"Pak, tolong ada yang mengganggu kami," teriak seseorang dari sekelompok lelaki dan perempuan muda itu memanggil petugas keamanan yang kebetulan melintas.

"Mereka merasa terganggu privasinya dan kami pun pergi," tambah pria yang sehari-harinya berdinas di Bagian Tata Pemerintahan Sekretariat Kota Jakarta Utara tersebut.

Penolakan serupa juga kerap dialami Abdi dan teman-temannya saat hendak membacakan buku di pusat keramaian seperti kafe, mal, lokasi "car free day" dan tempat lainnya.

Menurut dia, penolakan adalah risiko yang tidak mungkin dihindari Prabuhi. Namun, itu tidak dijadikan halangan, mereka justru tambah bersemangat dan termotivasi untuk terus berkarya.


Terbentuknya Prabuhi

Prabuhi dibentuk atas inisiatif Atta Verin, seorang Pramuka dewasa asal Bandung. Atta prihatin melihat semakin lunturnya budaya membaca buku di semua generasi.

Menggunakan jejaring sosial "facebook" dan "twitter", lima anggota Pramuka, Atta Verin dan Madrim Kusumah Andhini dari Bandung, Susanti Yulianti asal Sukabumi, Destriana Faried Aziz asal Bekasi dan Abdi Matondang sepakat membuat kelompok gerakan membaca buku.

Kelimanya memilih menjadi pembaca buku daripada menyediakan buku. Buku-buku yang disediakan juga tidak boleh dipinjam.

"Tujuannya menyebarkan ilmu pengetahuan, informasi dan sastra agar diserap merata oleh semua kalangan masyarakat dan menjadikan Pramuka sebagai agen pemberdayaan masyarakat," jelas Abdi.

Menurut dia, gerakan ini membuktikan bahwa Pramuka tak hanya sekedar belajar tepuk dan bernyanyi. Tak hanya berkemah dan tak hanya materi teknik kepramukaan, namun memberi dampak langsung serta mampu berbuat dengan karya nyata.

Prabuhi umumnya dilakukan oleh Pramuka Penggalang, Penegak dan Pandega. Namun banyak pula Pramuka Pembina yang rela menyisihkan waktu sejam dalam sepekan untuk menjadi Prabuhi seperti Abdi.

Salah seorang pendiri Prabuhi, Faried Aziz, menyebut sejumlah faktor yang membuat masyarakat kurang menggemari kegiatan membaca, antara lain karena gangguan fisik, kurang minat, dan tidak memiliki akses terhadap bahan bacaan.

"Selain membacakan buku, kami juga membacakan artikel di koran, majalah atau mengunduh (artikel) dari Internet. Khususnya artikel-artikel tematik," kata pria berusia 37 tahun tersebut.

Anggota Pramuka yang rutin melaksanakan aksi ini memiliki sebutan khusus, prabuhis.

Tidak hanya di Jakarta, para prabuhis juga aktif di sejumlah daerah seperti Bekasi, Bandung, Kuningan, Bali hingga Nusa Tenggara Timur. Khusus di Ibu Kota, anggotanya lebih dari 300 prabuhis.

Sebelum dinyatakan sah sebagai prabuhis, lanjut dia, seorang anggota akan mendapatkan beberapa pelatihan agar bisa membacakan buku dengan baik dan tidak monoton.

"Membaca tidak hanya membaca biasa, tapi intonasi dan suara harus diperhatikan," kata Kak Faried, panggilan akrabnya.

Kebetulan, kata Faried, ada anggota senior Prabuhi yang lulusan Fakultas Sastra Universitas Indonesia, sehingga bisa memberikan pelatihan membaca dengan menarik.

Buku-buku yang akan dibacakan pun sudah disiapkan, sehingga calon sasaran di lapangan tinggal memilih dari sejumlah buku yang ada. Namun, tidak sedikit dari mereka yang ingin memesan buku untuk dibacakan pada pertemuan berikutnya.

"Kalau sudah seperti itu kami puas dan bangga karena mereka tertarik. Dengan senang hati kami sepakat kembali bertemu dan akan membawakan buku yang mereka ingin dengarkan," kata bapak dua anak tersebut.

Untuk memperbanyak koleksinya, Prabuhi bekerja sama dengan sejumlah lembaga sosial yang aktif menyediakan buku. Di samping itu juga disiapkan buku-buku koleksi pribadi milik prabuhis.

Saat ini, Prabuhi tengah mengembangkan kegiatan dengan membacakan buku di tempat kumpul warga atau komunitas tertentu secara berkala. Saat ini setiap bulan mereka mendatangi kelompok masyarakat seperti sekolah difabel di Bekasi, rumah singgah anak jalanan di kawasan Ragunan dan rumah singgah untuk lanjut usia di kawasan Kramat Sentiong.

"Hasilnya sangat kami syukuri... semuanya menyambut positif. Anak-anak difabel bahkan meminta bergantian sebagai prabuhis dan meminta kami mendengarkan apa yang disampaikan melalui buku huruf braile," ucap Faried.

Kelompok anak jalanan juga sangat bersemangat mengikuti kegiatan Prabuhi. Pada kelompok ini prabuhis membacakan buku sembari memainkan boneka.

Lain lagi kisah prabuhis yang membacakan cerita untuk orang-orang lanjut usia. Mereka protes karena kisah Mahabarata yang dibacakan tidak sama dengan cerita di televisi, kata Faried, yang menjabat Kepala Sub Bagian  Tata Usaha Direktorat Penataan Perkotaan Kementerian Dalam Negeri.

"Antusiasnya mereka membuat kami puas dan kami akan terus berjuang mengajak masyarakat gemar membaca. Tekad kami membuat buku itu menjadi hidup," kata Faried.

Oleh Fiqih Arfani
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2014