Orang tua saya pelaut, dan kewajiban saya menjaga agar pinisi tetap berlayar di lautan...
Berbungkus pakaian ala ninja yang hanya menyisakan celah di bagian mata, lima buruh merapikan tumpukan semen di lumbung kapal pinisi. Mereka menyusun semen-semen seperti menata kue kering ke dalam toples.

Para buruh dan awak kapal tetap dalam ritme kerja yang sama, bahu-membahu memuat semen dari truk ke kapal, saat awan hitam mulai bergelanyut menutupi surya yang telah condong ke ufuk barat di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta, Senin (11/8).

Seorang pria paruh baya berambut putih cepak berada di anjungan dekat ruang kemudi mengamati buruh dan awak kapal yang bekerja di tengah suara mesin kapal yang menderu-deru. Sesekali tangannya menunjuk ke arah truk untuk memberi instruksi kepada para awak kapal dan buruh.

Dia lah Muhammad Baso, nakhoda kapal kayu pinisi Sosial Annur. Baso bertugas memimpin pelayaran, mengawasi serta memberikan arahan kepada awaknya ketika kapal memuat barang.

Pria kelahiran Bulukumba itu telah menjadi juru mudi kapal khas Sulawesi Selatan sejak 1973. Saat itu ia masih berumur 15 tahun, menjadi pelaut adalah kebanggaan masyarakat Bugis.

Kala itu kapal pinisi belum bermesin dan masih menggunakan layar sebagai tenaga penggerak.

"Ada tujuh layar terkembang, kami mengarungi laut lepas dengan bantuan layar itu. Saya sangat menikmati berlayar dengan layar itu. Walaupun terkadang kalau tidak ada muatan kapal itu kami isi dengan batu atau pasir," kenang pria yang disapa Puang Baso itu seraya menyeruput segelas kopi.

Kini kapal yang pertama kali dibuat oleh Sawerigading, Putera Mahkota Kerajaan Luwu pada abad ke-14 itu, telah bermesin. Ketujuh layar, yaitu tiga di ujung depan, dua di tengah dan dua di belakang, kini hanya tinggal kenangan. Pinisi sekarang hanya menyisakan dua layar di ujung depan kapal.

"Dua layar masih tetap terpasang dan berkibar di saat kami berlayar. Fungsinya agar kapal ini seimbang, juga sebagai simbol pinisi," ujarnya, sembari menunjuk ke ujung kapal tempat layar itu terpasang.

Walau pinisi kini dilengkapi mesin yang bertenaga 1.000 HP (tenaga kuda) dan alat navigasi Global Positioning System (GPS), namun kapal kayu yang dapat mengangkut beban hingga 800 ton itu, tetap menggunakan kompas, peta pelayaran manual, dan tanda-tanda alam sebagai petunjuk navigasi utama ketika berlayar.

Tanda-tanda alam inilah yang turun-temurun diajarkan oleh pelaut andal pinisi kepada anak cucu mereka ketika memilih menjadi pelaut sebagai jalan hidup.

"Orang tua saya pelaut, dan kewajiban saya menjaga agar pinisi tetap berlayar di lautan, dengan bersahabat dengan alam niscaya alam akan mengantarkan pinisi ini ke tujuan," katanya.

Selama berlayar, kapal khas Suku Bugis dan Makassar ini sering berhadapan dengan cuaca buruk seperti gelombang laut hingga empat meter, hujan deras disertai angin kencang dan badai. Tetapi, kata Puang Baso, semua itu bisa dilalui.

"Sebelum berlayar saya sering melihat awan, merasakan arah angin dan mengamati pasang surut air laut, dan apabila pasang surut air laut ini sangat tinggi, saya memilih untuk tidak melaut," jelas pria yang memimpin 10 awak kapal ini.

Selama bersandar, awak-awak pinisi akan merawat kapal kayu penjelajah samudera itu dengan seksama. Mereka mengecek mesin, menambal badan kapal yang bocor, memeriksa layar, mengoleskan oli di bagian dinding dalam kapal dan mengecat ulang badan kapal.

"Di saat pinisi ini bersandar dengan puluhan pinisi lainnya di pelabuhan, (kami) wajib melakukan perawatan, gunanya menjaga kapal tetap awet dan tangguh ketika berlayar," katanya.

Selain pelaut-pelaut Bugis, saat ini pinisi juga diawaki oleh pelaut-pelaut dari Jawa atau daerah lain.

"Pinisi ini kebanggaanku, sejak kecil saya ingin menjadi pelaut," kata Suhanto, pria kelahiran Subang, Jawa Barat, yang kini membantu Muhammad Baso menjadi asisten nahkoda di pinisi Sosial Annur.

Selama berlayar, Suharto mengaku mendapat banyak pelajaran mengenai pelayaran dari sang kapten.

"Saya sering diajarkan menentukan arah dengan kompas, membaca peta pelayaran dan memilih jalur yang aman dengan melihat tanda-tanda alam agar terhindar dari bahaya," kata lelaki yang hanya tamat Sekolah Dasar itu.

Berlayar berhari-hari dengan pinisi membuat Suharto, Muhammad Baso dan para awak kapal menjadi kuat dan tangguh.

"Alam ini lah yang mengajarkan kami menjadi pelaut handal, dan saya yakin pinisi tetap akan berlayar hingga anak cucu kami lahir," kata Baso, yang akan membawa pinisi Sosial Annur segera berlayar ke Pelabuhan Rakyat Nipa Kuning dan Pelabuhan Rakyat Tiga Ilir, Palembang, segera setelah muatan kapal penuh.

Kepala Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan Sunda Kelapa, Kapten Ferry Akbar menjelaskan, untuk menjadi nakhoda atau anak buah kapal pinisi, mereka harus mendapatkan pendidikan khusus.

"Untuk juru mudi, mereka harus sekolah sekitar tiga bulan untuk mendapatkan ijazah laut dan kemudian pihak pelabuhan mengizinkannya untuk melaut. Begitu pula yang ingin menjadi anak buah kapal, mereka harus mendapatkan buku pelaut dengan mengikuti pendidikan dasar keamanan selama seminggu," jelasnya.

Kapal pinisi juga harus lulus uji kelaikan kapal, meskipun izin layar kapal kayu itu mempunyai aturan yang berbeda dengan kapal kargo yang harus mematuhi standar keamanan pelayaran internasional.

"Untuk pinisi yang masuk dalam kategori kapal kayu, harus mematuhi aturan dalam negeri yang ditetapkan Kementerian Perhubungan. Dan setiap kapal ini keluar-masuk kami sebagai petugas pelabuhan melakukan pengecekan baik dokumen ataupun kelaikan kapal," jelasnya.


Pinisi versus kargo


Saat industri pelayaran makin berkembang, kapal kayu pinisi harus bersaing dengan kapal kargo baja, yang lebih modern, lebih cepat dan punya daya tampung besar.

Namun, bagi sebagian pengusaha, pinisi tetap menjadi pilihan untuk mengantarkan paket kiriman lewat laut.

"Biaya pemuatan dan pengiriman lewat pinisi jauh lebih murah dibanding kapal kargo. Misalnya untuk pengiriman barang dari Pelabuhan Sunda Kelapa ke Kalimantan Barat itu untuk pinisi berkisar Rp7.000 per kilogram dan kargo berkisar Rp10.000 per kilogram," kata Gunawan, penyalur semen.

"Saya percaya kemampuan pinisi, dan paket kiriman pasti dijamin aman sampai tujuan," katanya.

Hal senada juga diungkapkan Iwan, warga Ancol. Ia memilih menggunakan jasa ekspedisi pinisi untuk mengirimkan motornya ke Palembang.

"Kapal kargo lebih cepat sehari sampai di tujuan, tetapi dengan pinisi saya dapat menghemat pengeluaran," katanya.

Saat ini kebanyakan pinisi digunakan untuk mengirimkan barang antar pulau atau antar pelabuhan rakyat, walaupun ada sebagian masyarakat yang masih menjadikan pinisi sebagai alat angkut manusia, bahkan kapal pesiar.

Data tahunan Pelabuhan Sunda Kelapa mencatat kunjungan kapal layar motor atau kapal pinisi menurun 13 persen, dari 1.789 kapal pada 2012 menjadi 1.556 kapal pada tahun berikutnya.

"Sulitnya bahan baku pinisi berupa kayu dan biaya perawatan yang mahal, menyebabkan pinisi mengalami kemunduran dari segi kuantitas," kata Feri Akbar

Meski mulai meredup, kata Muhammad Baso, para perajin pinisi di Tanah Beru, Bulukumba, Sulawesi Selatan, tetap membuat kapal berbahan dasar kayu ulin atau bitti itu. Saat ini kayu bitti, katanya, makin sulit didapatkan.

Sebuah pinisi sepanjang 50 meter dan lebar 12 meter, pembuatannya membutuhkan waktu sekitar setahun. Setelah jadi kapal itu bernilai sekitar Rp4 miliar.

Puang Baso tetap optimis kapal yang telah menjadi bagian sejarah kemaritiman Tanah Air tidak akan hilang, meski modernisasi teknologi perkapalan makin tak terbendung.

"Khasnya pinisi tidak akan hilang dan akan berlayar hingga akhir zaman. Saya yakin pemerintahan baru ini akan memberikan perhatian lebih pada pinisi sebagai kapal khas kebanggaan masyarakat Sulawesi Selatan," kata Puang Baso, yang ingin melaut hingga akhir hayat.

Oleh Zabur Karuru
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2014