Jakarta (ANTARA News) - Perjamuan pesta demokrasi lima tahunan pada 9 Juli 2014 telah usai, namun tidak dengan berbagai persoalan yang muncul baik selama maupun setelah pelaksanaannya.

Sebagai "event organizer" pesta demokrasi, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendapatkan banyak tudingan di balik penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Terjadi banjir gugatan, tidak hanya di lembaga tertinggi bidang ketatanegeraan Mahkamah Konstitusi, pengaduan juga dilayangkan ke dewan kehormatan yang mengurusi perilaku para anggota lembaga penyelenggara Pemilu.

Umumnya, gugatan-gugatan tersebut diajukan oleh pihak yang kalah dalam kompetisi lima tahunan itu, dengan dalih pelaksanaan Pilpres tidak berjalan sebagaimanaa asas jujur, langsung, dan adil.

Di MK, tim kuasa hukum pasangan calon nomor rrut satu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa menuntut dilakukannya pemungutan suara ulang di 5.949 tempat pemungutan suara (TPS delapan provinsi, yaitu di DKI Jakarta, Jawa Timur, Sumatera Utara, Maluku Utara, Bali, Papua, Papua Barat dan Jawa Tengah.

Mereka menduga terjadi kecurangan-kecurangan yang dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif di hampir seluruh wilayah Tanah Air, sehingga menyebabkan perolehan suara mereka berkurang.

"Ada satu ibu, seorang ibu, yang datang ke tempat pemungutan suara lalu ditanya oleh petugas penyelenggara mau memilih siapa, nomor satu atau nomor dua. Begitu dia katakan Nomor Satu, tidak diperkenankan (memilih). Ibu-ibu (itu) masih hidup, ada di Bendungan Hilir," kata Prabowo mencontohkan salah satu kasus dugaan kecurangan dalam sidang perdana PHPU di MK beberapa waktu lalu.

Dalam gugatannya, Tim Prabowo-Hatta menduga telah terjadi pelanggaran seperti pihak penyelenggara yang tidak menjalankan tugasnya sesuai peraturan, tidak menjalankan rekomendasi yang dikeluarkan Panwaslu maupun Bawaslu, adanya mobilisasi pemilih dengan kedok Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb).

Selama proses persidangan PHPU berlangsung, muncul sejumlah kesaksian yang menyatakan penyelenggara Pemilu di tingkat bawah tidak menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya.

Satoniha Duha, anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) Nias Selatan ketika bersaksi di MK mengaku telah mencoblosi sisa surat suara yang ditujukan untuk pasangan calon Nomor Urut Dua Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Anggota KPPS di TPS 3 Desa Bawolahus itu mengaku bersama enam anggota lainnya sepakat untuk mencoblosi sendiri sisa surat suara tersebut.

"Saya mencoblosi enam lembar, yang lain dibagi-bagi. Saksi tidak tahu (karena) pencoblosan dilakukan setelah pemilih dan saksi meninggalkan TPS. Saya sadar itu tindak pidana, tetapi saat itu yang saya lakukan hanya bersikap loyal kepada anggota KPPS lain dan menghargai kesepakatan yang telah dibuat untuk mencoblosi sisa surat suara itu," kata Satoniha saat memberikan kesaksiannya untuk Prabowo-Hatta.

Selain itu, saksi mandat Prabowo-Hatta di Awa Butu, Distrik Paniai Timur, Kabupaten Paniai, Provinsi Papua dengan lantang dan penuh percaya diri mengatakan bahwa pada 9 Juli tidak ada aktivitas Pemilu di kampungnya.

Novela Nawipa, yang sempat menjadi "trending topic" atas kesaksiannya di sidang PHPU MK, ngotot menyatakan tidak ada aktivitas pemungutan suara di Awa Butu.

"Tidak ada aktivitas pemilihan, di kampung kami tidak ada di Kampung Awa Butu, tidak ada TPS, tidak ada bilik suara," katanya.

Namun, ketika Ketua Majelis Hakim Hamdan Zoelva dan Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyatakan apakah terdapat petugas KPPS dan kegiatan pemilu di tingkat Distrik, Novela enggan menjawab.

"Saya tidak tahu pak, jangan nanya saya. Saya di situ tidak tahu apa-apa karena tidak ada kegiatan pemilu. Saya tidak mau menjawab, saya hanya mau jawab di Kampung Awa Butu yang lain tanya ke penyelenggara," kata dia dengan logat khas masyarakat timur.



Gugatan Kode Etik

Sementara itu, KPU juga harus menghadapi gugatan atas dugaan pelanggaran kode etik di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), karena dalam pelaksanaan proses Pemilu individu KPU dinilai tidak independen.

Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie mengatakan persidangan di DKPP berbeda dengan MK. Di DKPP, yang menjadi aduan adalah sikap pribadi para anggota lembaga penyelenggara Pemilu.

Artinya, jika terbukti ada tindak pelanggaran kode etik sebagai penyelenggara pemilu, maka sanksi terberat adalah pemecatan para komisioner dari KPU.

Selain itu, di DKPP juga tidak ada batas waktu penyerahan laporan aduan dari pihak-pihak pengadu. Hal itu terlihat dari berkas pengaduan awal yang berjumlah sembilan aduan bertambah menjadi 14 aduan hingga di akhir sidang.

"Kalau misalnya kami harus katakan bahwa kasus 14 laporan pengaduan itu melanggar kode etik, maka akan diberi tindak lanjut berupa sanksi. Kalau terbukti bersalah, jangan berkecil hati. Tujuan dari DKPP bukan untuk menyakiti, melainkan menjaga kehormatan dari institusi. Sebaliknya, gantian yang lain meneruskan pekerjaan," katanya.

Para pengadu dugaan pelanggaran kode etik di DKPP, antara lain Sigop M Tambunan (Tim Advokasi Independen untuk Informasi dan Keterbukaan Publik), Ir Tonin Tachta Singarimbun dan Eggi Sudjana (Tim Aliansi Advokat Merah Putih), Ahmad Sulhy (Tim Kampanye Pasangan Prabowo-Hatta DKI Jakarta), Bambang (Gerakan Rakyat Indonesia Baru), Mas Soeroso (Pimpinan Cabang Relawan Gerindra atau Tim Kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Pasangan Prabowo-Hatta Kabupaten Banyuwangi) dan Wawan Pribadi (Tim Kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Pasangan Jokowi-Kalla Kabupaten Sukoharjo).

Permasalahan yang diadukan ke DKPP mulai dari dugaan pelanggaran administrasi pencalonan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang dibiarkan KPU, insiden pembukaan kotak suara tanpa perintah MK, serta tidak dijalankannya rekomendasi Bawaslu oleh KPU.



Menanti Kejutan

Komisioner KPU Pusat Hadar Nafis Gumay, ditemui di Jakarta, Rabu, mengatakan pihaknya mempercayakan proses peradilan kepada masing-masing majelis, baik di MK maupun di DKPP.

Sidang putusan perkara di MK dan DKPP rencananya akan dilakukan serentak pada Kamis (21/8), dengan waktu yang berbeda.

"Kami sudah memberikan keterangan sebagaimana dalam proses persidangan kemarin-kemarin. Kami sudah memeriksa kembali dokumen yang diperlukan dan menyampaikan kesimpulan kami secara tertulis. Intinya, kami berpandangan dalil-dalil mereka tidak terbukti, kami menolak," kata Hadar.

Berdasarkan proses persidangan, KPU melihat tidak ada bukti atau keterangan yang menguatkan permohonan pemohon terkait hingga membuat hasil Pilpres tersebut dibantah.

"Tapi kami tidak tahu juga kalau tiba-tiba besok ada kejutan dari DKPP atau MK, tapi sejauh pemahaman kami selama proses pembuktian di persidangan itu tidak terbukti," kata Hadar.

Ketua KPU RI Husni Kamil Manik menegaskan pihaknya optimistis permohonan yang dilayangkan kubu Prabowo-Hatta tidak akan dikabulkan oleh MK. Dia meyakini proses pelaksnaan Pilpres telah berjalan sesuai dengan peraturan dan Undang-undang yang berlaku.

"Kami tidak berpihak kepada salah satu pasangan calon, tetapi kami tetap dalam kerangka bahwa kami adalah penyelenggara Pemilu yang independen. Sehingga, apa pun putusannya kami akan menerima," kata Husni.

DKPP akan menggelar sidang Putusan di Gedung Kementerian Agama di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat pada pukul 11.00 WIB, yang tiga jam kemudian Mahkamah Konsitusi menyelenggarakan sidang Putusan di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, pada pukul 13.00 WIB.

Oleh Fransiska Ninditya
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2014