Jakarta (ANTARA News) - Pidato kemenangan pasangan Presiden-Wakil Presiden terpilih Indonesia Joko Widodo-Jusuf Kalla dari kapal phinisi di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara, tampaknya ingin mengangkat dan mendorong semangat Indonesia sebagai negara maritim.

Dalam berbagai kesempatan selama kampanye pemilu sebelumnya, presiden terpilih juga sering mengungkapkan cita-citanya untuk membawa dan menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Impian serupa juga pernah diungkapkan Bung Karno dengan mengatakan bahwa bangsa yang kuat dan sejahtera harus menjadi bangsa bahari.

Namun sebelum menjadi poros maritim dunia, Indonesia harus lebih dulu menjadi sebuah negara maritim, dimana sektor kelautan menjadi sentral kehidupan ekonomi dan pusat produksi utama.

Hingga saat ini secara ilmiah, Indonesia bukan sebuah negara maritim karena sebagian besar kehidupan masyarakat khususnya di lima pulau terbesar (Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya) tidak terpengaruh secara langsung oleh proses yang terjadi di lautan.

Namun secara geo-politik, historis, dan budaya, Indonesia dapat dijadikan sebagai sebuah negara maritim karena wilayah darat Indonesia dalam satu kesatuan yang dikelilingi oleh lautan dengan 2/3 wilayahnya merupakan laut dan jumlah pulau terbanyak di dunia serta salah satu garis pantai terpanjang di dunia.

Secara historis dan budaya, Indonesia memiliki era keemasan negara bahari pada zaman Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit serta rakyat Indonesia memiliki budaya pelaut.


Potensi Perikanan vs Biaya Pengawasan

Potensi perikanan laut Indonesia yang cukup besar perlu dimanfaatkan secara efisien untuk dapat meningkatkan devisa dari sektor kelautan.

Akan tetapi dengan menurunnya jumlah populasi ikan di laut akibat terganggunya ekosistem laut seperti pencemaran, peningkatan keasaman air laut, dan over eksploitasi serta diikuti dengan meningkatnya harga bahan bakar minyak (BBM) menjadikan hasil tangkapan ikan dan pendapatan nelayan Indonesia menurun belakangan ini.

Di samping itu, nelayan dari negara lain dengan menggunakan kapal dan teknologi yang lebih maju sering melakukan pencurian ikan di perairan Indonesia khususnya Laut Arafura, utara Laut Sulawesi, perairan barat Natuna, dan Laut China Selatan.

Pencurian ini mungkin terjadi akibat lemahnya pengawasan dari pihak Indonesia mengingat kurangnya sarana seperti jumlah kapal pengawas dan dana yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pengawasan serta luasnya perairan yang harus diawasi.

Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan, kerugian akibat illegal fishing di Laut Arafura sendiri pada tahun 2001-2013 mencapai Rp520 trilliun.

Angka yang sangat fantastis walau perlu diuji kesahihannya, namun secara umum kerugian akibat illegal fishing di perairan Indonesia oleh negara lain terbilang sangat besar. Untuk itu diperlukan upaya pengawasan yang lebih efisien dan maskimal.

Saat ini jumlah kapal pengawas yang dimiliki Ditjen Pengawasan, Kementerian Kelautan dan Perikanan berjumlah 27 kapal (20 kapal kecil dan 7 kapal standard) ditambah 2 kapal pesanan baru SKIPI (Sistem Kapal Inspeksi Perikanan Indonesia dengan panjang 60 m dan dilengkapi dengan sonar dan penginderaan jauh).

Dua kapal SKIPI ini merupakan kapal yang bagus dan cocok untuk pengawasan namun umumnya biaya layar (biaya BBM+nakhoda) kapal besar seperti ini bisa mencapai Rp100.000.000/hari.

Untuk itu perlu dipikirkan upaya efisiensi penggunaan kapal SKIPI ini agar bisa bermanfaat ganda seperti pelaksanaan pengawasan sekaligus pelaksanaan penelitian serta penangkapan ikan. Dengan demikian, kapal SKIPI ini perlu dilengkapi dengan sarana dan prasarana penelitian dan penangkapan ikan.

Bilamana ketiga fungsi (pengawasan, penelitian, dan penangkapan) belum dapat terlaksana sekaligus maka paling tidak dua fungsi (pengawasan dan penelitian) seyogianya dapat dilakukan mengingat pengetahuan terhadap kondisi laut kita masih sangat minim.

Pemanfaatan sarana dan prasarana Angkatan Laut untuk pengawasan sekaligus penelitian juga sangat penting disinergikan.

Upaya efisiensi pengawasan dan produksi perikanan yang dapat dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan adalah pengembangan BUMN bidang perikanan untuk memiliki kapal-kapal besar dimana kapal-kapal ini dapat dimanfaatkan untuk dua fungsi yaitu pengawasan dan produksi perikanan.

Bahkan dalam kapal besar ini dapat dilengkapi dengan proses pengolahan hasil perikanan. Selain mengembangkan BUMN bidang perikanan, pemerintah juga dapat mendorong dan membantu pihak swasta untuk dapat mengembangkan dan memiliki kapal-kapal besar yang dapat dimanfaatkan untuk fungsi pengawasan dan produksi perikanan sehingga dapat mengurangi kerugian akibat illegal fishing dan meningkatkan produksi perikanan dengan menggunakan kapal dengan teknologi .


Poros Maritim Dunia


Untuk menjadi sebuah negara maritim, maka infrastrukur (jalan) antar pulau dan sepanjang pantai di setiap pulau merupakan hal yang harus dibangun dan dikembangkan.

Jalan antarpulau ini harus benar-benar dapat direalisasikan di masa mendatang untuk mempercepat transportasi antar pulau di Indonesia disamping tol laut yang dicanangkan presiden terpilih Jokowi-JK.

Sebagai contoh, negara bagian Florida, Amerika Serikat yang merupakan negara bagian maritim (coastal state) memiliki sumber penghasilan utama dari sektor pariwisata kelautan membangun jalan pertama kali di sepanjang pantainya yang disebut State Road A1A, kemudian diikuti pembangunan jalan paralel dengan SR A1A kearah daratan yang disebut US1, setelah itu jalan tol antar provinsi yang sejajar dan tegak lurus dengan US1. State Road A1A ini adalah jalan yang letaknya paling dekat dengan pantai dan akses ke pantai.

Pembangunan infrastruktur yang mengarah ke laut inilah yang membuat aktivitas, pusat pengembangan kota, dan pusat pemukiman di Amerika lebih berkembang di sepanjang pantai dibandingkan dengan di tengah daratan.

Pola pengembangan transportasi di Indonesia mungkin tidak dilandasi atas dasar negara maritim. Hal ini terlihat dari jarangnya jalan utama yang dibangun di sepanjang pantai dan pusat pengembangan kota berada pada daerah daratan.

Untuk menjadi negara maritim maka pembangunan infrastruktur sepanjang pantai dan antar pulau merupakan hal yang harus dilaksanakan sehingga transpotasi hasil-hasil kelautan menjadi mudah dan hubungan antar pulau juga menjadi lebih cepat dan efisien serta pengembangan perekonomian juga akan berkembang di daerah pesisir.

Setelah menjadi negara maritim maka tujuan berikutnya adalah menjadi poros maritim dunia atau global maritime access.

Indonesia sangat mungkin menjadi menjadi poros maritim dunia mengingat Indonesia berada di daerah equator, antara dua benua Asia dan Australia, antara dua samudera Pasifik dan Hindia, serta negara-negara Asia Tenggara. Untuk dapat menjadi poros maritim dunia maka sistem pelabuhan di Indonesia harus dimodernisasi sesuai dengan standard internasional sehingga pelayanan dan akses di seluruh pelabuhan harus mengikuti prosedur internasional.

Pembangunan pelabuhan internasional yang baru mungkin diperlukan untuk mengantisipasi jumlah dan aktivitas perdagangan yang semakin meningkat ke depan.

Permasalahan yang dihadapi Indonesia saat ini untuk menuju sebuah negara maritim dan poros maritim dunia selain hal-hal yang disebutkan sebelumnya adalah kurangnya komitmen dari para pemimpin kita untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maritim seperti kurangnya dana APBN untuk kelautan, kurangnya sumber daya manusia di bidang kelautan, kurangnya pembangunan ke arah sektor kelautan, kurangnya sarana, prasarana, dan dana riset bidang kelautan, serta kurangnya pengembangan dan penerapan teknologi untuk bidang kelautan.

Untuk itu, pemerintah Indonesia harus mampu membuat kebijakan pembangunan yang berorientasi dalam bidang kelautan dan meningkatkan anggaran APBN untuk bidang kelautan sehingga infrastruktur di daerah pesisir dan antarpulau dapat dikembangkan, SDM bidang kelautan dapat ditingkatkan, kualitas pelabuhan dapat ditingkatkan menjadi bertaraf internasional, pengawasan dan produksi perikanan dapat ditingkatkan, penelitian dan kesehatan lingkungan laut dapat ditingkatkan, serta pengembangan dan pemanfaatan teknologi kelautan dapat ditingkatkan.

***2***

*) Penulis adalah Dosen di Departmen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor (B012/Z003)

Oleh bisman nababan*
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014