Ankara (ANTARA News) - Perdana Menteri Turki, Recep Tayyip Erdogan yang akan mengakhiri jabatannya, Kamis disumpah sebagai presiden, sementara pihak oposisi yang menuduhnya bersikap otoriter selama lebih dari satu dasa warsa memegang kekuasaan, meninggalkan ruangan upacara.

Erdogan (60) mengangkat sumpah di Ankara untuk memulai menjalankan mandat selama lima tahun, dimana ia berjanji untuk membangun "Turki yang baru" dengan menerapkan undang-undang baru dan mengarahkan program pembangunan yang ambisius.

Deputi dari pihak oposisi, Partai Republik Rakyat (CHP), yang menuduh Erdogan melanggar konstitusi, "walk out" dengan berisik ketika parlemen mulai mengangkat sumpah Erdogan.

Erdogan sudah dengan gamblang menyatakan ia ingin memiliki kekuasaan eksekutif yang sejati sebagai presiden setelah menjadi kepala negara pertama yang dipilih secara langsung, dengan mendapat suara 52 persen dalam pemilihan pada 10 Agustus.

Pendahulunya di Istana Kepresidenan Cankaya, lebih banyak berperan untuk seremonial saja.

Pemilihan itu merupakan puncak bagi Erdogan -- yang pertamakali menjadi perdana menteri pada 2013 -- menghadapi protes anti-pemerintah secara besar-besaran serta tuduhan korupsi di lingkaran dalamnya.

Ia akan mengambil alih kedudukan sebagai presiden dari Abdullah Gul, mantan teman dekat dan pendiri bersama partai berkuasa Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang kini tampaknya menjadi jatuh dan diperkirakan tidak akan banyak berperan dalam pemerintahan mendatang.

Para kepala negara dari puluhan negara Eropa Timur, Afrika, Asia Tengah dan Timur Tengah menghadiri upacara pengangkatan sumpah tersebut, lapor kantor berita Anatolia.

Namun para pemimpin dari negara-negara Barat secara menyolok mata tidak hadir sebagai isyarat kecurigaan terhadap tendesi Erdogan menjadi orang kuat.

Amerika Serikat hanya mengirim wakilnya di Ankara, yang oleh sebagian pengamat dapat dilihat sebagai penghinaan terang-terangan.

Presiden Ukraina, Petro Poroshenko terpaksa membatalkan kehadirannya karena pasukan Rusia merangsek ke wilayah timur negerinya.

Masa jabatan lima tahun sebagai presiden membuat Erdogan memiliki masa jabatan lebih lama ketimbang bapak modern negara itu Mustafa Kemal Ataturk yang membangun republik itu keluar dari puing-puing kekaisaran Ottoman.

Ia dapat menjalankan mandat dua kali sehingga bisa bertahan dalam kekuasaan sampai 2024, yang akan membuatnya mampu menyaksikan perayaan 100 tahun Turki modern pada 2023 dan menempatkan dirinya sebagai tokoh sejarah yang menyaingi Ataturk.

"Ulang tahun Turki Baru" demikian judul berita utama harian Yeni Safak yang pro-Erdogan.

Erdogan sudah dengan nyata-nyata ingin menekankan program yang mengejutkan dalam proyek infrastruktur termasuk pembangunan bandara baru Istambul yang maha besar, kanal-kanal baru untuk memindahkan perkapalan dari Bosphorus dan jaringan jalur kereta cepat di seluruh negeri.

Dalam menduduki jabatannya, Erdogan disumpah untuk mematuhi undang-undang, hukum, demokrasi dan dasar-dasar serta reformasi Ataturk, prinsip-prinsip sebagai negara Republik sekuler.

Namun para lawan menuding Erdogan menggerogoti warisan Ataturk dengan otoriter dan perlahan-lahan cenderung mengarah ke masyarakat Islami.

Secara kontroversial ia menginginkan parlemen mengubah undang-undang setelah 2015 untuk memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada presiden.

"Kita menghadap sosok manusia yang menempatkan dirinya sendiri di atas hukum dan tidak mematuhi peraturan apa pun. Kejiwaannya seperti ini tidak dapat diterima," kata pemuka CHP, Kemal Kilicdaroglu.

Berdasarkan hukum Turki, presiden tidak diperkenankan mempunyai hubungan dengan partai politik -- tetapi Kilicdaroglu mengatakan bahwa Erdogan tidak berniat menjauh dari partai AKP.

Jabatannya sebagai perdana menteri diambil alih oleh Menteri Luar Negeri Ahmet Davutoglu (55) sekutu lamanya yang diperkirakan sangat kecil keinginannya untuk menantang sebagai orang nomor satu di Turki, demikian AFP.

(M007)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014