Jakarta (ANTARA News) - Aditya Inzani (26) tahun lalu membeli 30 keping cakram digital yang harganya Rp40.000 per keping demi bisa 30 kali atau sekitar lima menit bersalaman dan bicara dengan Jessica Vania, anggota grup JKT48 idolanya.

Dia juga rela mengikuti acara sejak subuh ketika kelompok "Gadis-Gadis Remaja" yang merupakan "sister group" dari grup idola AKB48 di Jepang itu merayakan ulang tahun.

Ketika itu Aditya berangkat pagi buta dari rumahnya di Depok supaya bisa mengikuti kegiatan pengambilan gambar sebuah acara televisi di Teater JKT48 yang ada di Senayan, Jakarta.

Usai mengikuti kegiatan pengambilan gambar yang berlangsung beberapa jam, ia mengantre untuk menonton konser perayaan ulang tahun idol grup pujaannya di kawasan Gelora Senayan.

"Antre dari jam 10.00 pagi sampai jam 16.00. Enggak makan-minum. Jam 14.00-an baru sadar," kenangnya, lalu tertawa.

Sebulan sekali Aditya juga datang ke Teater JKT48 untuk menyaksikan pertunjukan kelompok penyanyi berusia 15-23 tahun itu. "Kebetulan saya sudah berkeluarga," katanya.

Sementara Goldy bisa menonton pertunjukan mereka sampai lima kali dalam sebulan.

"Saya suka sejak awal, akhir 2011. Awalnya, saya suka AKB48," kata pria berusia 30 tahun itu sebelum menyaksikan pertunjukan malam JKT48 di Senayan, Senin (25/8).

Dia juga sampai dua kali menyambangi Jepang dan membeli 13 keping cakram digital dengan harga total 39.000 yen atau sekira Rp4,3 juta demi bisa menyaksikan penampilan JKT48 dan AKB48.

Lain lagi dengan Hadiyanti (24), yang sangat menggemari penyanyi dan grup musik dari label rekaman YG Entertainment, Korea Selatan, seperti G-Dragon, Big Bang, Tae Yang, T.O.P, Dae Sung, dan Seung Ri.

Karyawati perusahaan swasta itu menjadi pengurus kelompok penggemar YG Indonesia bersama delapan temannya sejak beberapa tahun lalu.

Dia juga kerap memesan langsung pernak-pernik terkait idolanya dari Korea Selatan. Koleksi yang menurut dia paling berharga adalah buku berisi foto G-Dragon dan Young Bae (nama asli Tae Yang), dua personel Big Bang.

"Edisi terbatas dan tiap buku bernomor," katanya tanpa mau menyebutkan harga buku tersebut.


Laku Pengidolaan

Mengidolakan atau yang dalam Bahasa Inggris disebut role modelling, dalam ilmu psikologi adalah kegiatan mencontoh seseorang untuk mengadopsi faktor-faktor dari sumber yang dikagumi.

Menurut psikolog Tika Bisono, seseorang kadang memang memerlukan idola untuk belajar membentuk identitas diri.

"Siapa saja bisa menjadi idola. Yang jadi idola adalah mereka yang layak, yang dianggap memiliki kemampuan di atas rata-rata," kata dosen Universitas Tarumanegara itu saat ditemui di kantornya di Pasar Minggu, Jakarta.

Setiap individu memiliki preferensi sendiri-sendiri terhadap kriteria idola dan selera itu membuat setiap orang memiliki idola yang berbeda.

Seperti Goldy dan Aditya, yang meski sama-sama menggandrungi JKT48 tapi menyukai anggota yang berbeda. Aditya memilih Jessica Vania sedang Goldy menyukai Michelle, Ayen, dan Ayana.

Tika juga mengatakan bahwa kebanyakan orang mengidolakan seseorang pada usia remaja, meski kadang juga terjadi pada usia dewasa.

Aktivitas mengidolakan seseorang bisa beragam. Seorang yang menyukai sebuah grup musik misalnya, tidak akan pernah absen menonton konser idola mereka, membeli album idola walaupun tidak mendapat ulasan bagus, mencari tahu berita terkini tentang idola, atau mengikuti cara mereka berpakaian.

Saat mengidolakan seseorang, Tika mengatakan, penggemar punya kecenderungan meniru idolanya, tidak hanya meniru penampilan fisik, tapi juga cara hidup.

Hadiyanti misalnya. Sejak dua tahun lalu dia menyumbang ke organisasi yang membantu penyandang cacat dan mengatasi masalah kelaparan karena Tae Yang, personel Big Bang yang paling dia gemari, mengimbau penggemarnya untuk memberi donasi ke yayasan amal alih-alih menghujaninya dengan hadiah.

Selain itu, kata Hadiyanti, salah satu personel Jinusean yang bernama Sean mendirikan sebuah yayasan untuk membangun rumah sakit di Korea Selatan.

"Tiap anak Big Bang ulang tahun, pasti ada fanbase yang donasi ke yayasan itu," katanya.

Namun intensitas meniru idola bisa menuju ke arah yang mengkhawatirkan bila penggemar sudah mengikuti gaya hidup yang tidak sehat sang idola seperti merokok atau menggunakan obat-obatan terlarang.

Tika juga mengatakan bahwa kegiatan mengidolakan yang menyinggung jati diri seperti meninggalkan gaya berpakaian lama dan hanya mau mengenakan pakaian seperti idola, memilih sekolah seperti idolanya meski tidak berminat, atau marah bila ada orang yang menjelekkan idolanya, mesti diwaspadai.

"Pada titik itu, harus menemui psikolog untuk terapi karena sudah menyinggung jati diri. Unsur yang bukan dia menjadi lebih dominan daripada dia," kata Tika, yang menulis skripsi tentang laku pengidolaan semasa kuliah di Universitas Indonesia.

Distorsi kepribadian seperti itu, lanjut dia, bila dibiarkan bisa menimbulkan penyimpangan emosi, kepribadian dan mental. Penyimpangan-penyimpangan tersebut bisa menyebabkan pengidolaan yang bersifat patologis, seperti yang terjadi pada Mark David Chapman, penggemar yang menembak mati John Lennon 8 Desember 1980.

Oleh karena itu, menurut Tika, para orangtua perlu mengawasi perkembangan identitas diri anak-anak remaja mereka, mengawal mereka agar tetap menjadi diri sendiri.

Orang dewasa pun perlu mengenal identitas dirinya agar tidak terjebak dalam laku pengidolaan yang berlebihan. Selain orangtua, kawan dan kerabat dekat perlu berperan dalam mengawasi teman dan saudara mereka agar tidak punya obsesi berlebihan pada idola.

"Misalnya coba mengingatkan, ajak melakukan kegiatan yang lebih bervariasi, atau ajak melihat idola yang lain juga," katanya.

Ia menambahkan, mengidolakan seseorang seperti menjadikan idola sebagai cermin diri. Tapi itu bukan berarti mengadopsi semua untuk menyerupakan diri dengan sang idola.

"Mengidolakan seseorang artinya meniru yang baik dari dia, bukan yang jelek," demikian Tika Bisono.

Oleh Natisha Andarningtyas
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2014