Jakarta (ANTARA News) - Agenda utama pertemuan puncak G-20 di Australia pada November mendatang cukup ambisius, yaitu pembahasan mengenai kemungkinan pembagian informasi sistem pajak masing-masing negara dan penetapan target pertumbuhan ekonomi global sebesar dua persen sepanjang lima tahun mendatang.

Agenda yang pertama bisa disebut ambisius karena sistem pajak merupakan variabel utama yang menurut ekonom asal Prancis, Thomas Piketty, berkontribusi besar terhadap semakin meningkatnya disparitas kesejahteraan global.

Perbedaan sistem pajak telah membuat perusahaan-perusahaan multinasional dapat dengan legal menghindari pembayaran setoran untuk negara tempat modal ditanam. Menurut perhitungan lembaga Christian Aid, negara-negara berkembang dirugikan sebanyak 160 milyar dolar AS per tahun--sekitar Rp1.900 trilyun atau lebih besar dari APBN Indonesia--akibat praktik "penggelapan pajak legal".

"Kami memperkirakan bahwa penggelapan pajak dagang bertanggung jawab terhadap kematian 5,6 juta anak di negara berkembang antara tahun 2000 sampai 2015. Hampir 1.000 setiap harinya dan sebagian di antara mereka telah mati," tulis Christian Aid dalam laporannya yang berjudul Death and Taxes.

Kerugian tidak hanya diderita negara berkembang. Lembaga Tax Justice Network pada 2012 lalu dalam laporannya memperkirakan bahwa negara-negara anggota Uni Eropa telah kehilangan 1,3 trilyun dolar AS pertahunnya akibat penggelapan pajak.

Nilai tersebut lebih besar dari total anggaran kesehatan gabungan negara-negara Eropa, empat kali lipat lebih banyak dari belanja pendidikan di benua tersebut, dan setara dengan hutang pemerintahan Uni Eropa selama sembilan tahun.

Persoalan penggelapan pajak diperparah oleh kompetisi di antara negara-negara berkembang untuk mendapatkan keunggulan komparatif demi mendapatkan modal. Piketty menyatakan bahwa kini negara-negara saling bersaing mendapatkan investasi asing dengan menurunkan pajak sampai pada level yang kontraproduktif dan merugikan.

Atas pertimbangan itulah kepala Sherpa G-20 Australia--badan yang bertugas untuk mensosialisasikan sekaligus memandu agenda pertemuan puncak di Brisbane pada 15-16 November mendatang--Heather Smith berkeliling dunia untuk mengabarkan signifikansi pembahasan sistem pajak global untuk mengurangi kerugian akibat penggelapan pajak legal.

"Pembagian informasi pajak lintas yuridiksi adalah hal yang sangat penting. Kami harus memastikan bahwa sistem perpajakan global telah sesuai dengan kondisi abad ke-21," adalah mantra yang selalu diucapkan Smith saat berkunjung ke Pretoria, New Delhi, dan juga Jakarta.

Pembagian informasi yang dimaksud Smith adalah sistem pertukaran data perpajakan antar-negara secara otomatis yang kini tengah dikembangkan oleh Global Forum atas desakan negara-negara G-20. Dalam sistem tersebut, pemerintah suatu negara bisa memeriksa catatan pajak suatu perusahaan multinasional untuk mencocokkan akurasi laporan sumber pendapatan dan kekayaan yang terdapat di luar negeri.

Tentu saja kesepakatan mengenai pertukaran informasi pajak lintas yuridiksi itu sangat diharapkan bukan saja oleh anggota G-20 melainkan juga negara-negara di luar lingkaran elit itu. Nilai penggelapan pajak memang terlalu besar untuk terus dibiarkan.

Namun agenda pembahasan sistem pertukaran informasi pajak itu justru mengabaikan hal mendasar yang diuraikan oleh Piketty dalam bukunya "Capital in the 21st Century", yaitu kompetisi negara-negara berkembang untuk terus mengurangi prosentase pajak sampai tingkat nol demi mendapatkan modal asing.

Piketty mengatakan bahwa kompetisi mendapatkan investasi asing telah memperparah disparitas kekayaan yang ditandai dengan semakin tingginya "rate of return" (atau dalam bahasa sederhananya keuntungan perusahaan) dan semakin rendahnya pertumbuhan ekonomi.

Dengan pungutan pajak yang semakin rendah, suatu negara akan kesulitan membiayai proyek yang dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi dan mengentaskan kemiskinan seperti pembangunan infrastruktur atau kredit usaha rakyat. Di sisi lain, perusahaan multinasional akan semakin banyak mendapat keuntungan tanpa harus melakukan tanggung jawab sosialnya.

Persoalan semakin kontraproduktifnya kompetisi pajak antar-negara berkembang itu tidak dapat diselesaikan dengan penerapan sistem pertukaran informasi lintas yuridiksi sebagaimana yang diusulkan Heather Smith. G-20 memang tidak harus mengikuti usulan utopis Piketty mengenai pembentukan pembentukan lembaga internasional yang menetapkan tingkat pajak yang seragam bagi semua negara. Namun persoalan ini sudah seharusnya dibahas oleh kelompok yang mengaku sebagai penentu masa depan ekonomi dunia, bukan malah mengabaikannya.

Pendalaman masalah pajak--dan bukan membatasinya hanya menjadi soal pertukaran informasi--juga penting mengingat agenda prioritas kedua pertemuan puncak G-20 adalah penetapan pertumbuhan ekonomi dunia sebesar dua persen ditambah dengan tuntutan pembiayaan besar untuk infrastruktur dan pemerataan kesejahteraan.

"Kami tengah berupaya untuk memenuhi target pertumbuhan ekonomi sebesar dua persen. Kami juga telah menerima komitmen besar mengenai kebijakan pembiayaan infrastruktur," kata Heather Smith saat berkunjung ke New Delhi.

Banyak pihak memperkirakan target tersebut akan tercapai, apalagi jika sitem pertukaran informasi pajak lintas yuridiksi berhasil meminimalisir penggelapan pajak oleh perusahaan multinasional besar.

Namun keberlanjutan pertumbuhan ekonomi global yang relatif tinggi itu--jika dibandingkan dengan tahun pasca krisis Eropa dan Amerika Serikat--tidak akan bertahan jika lomba pacu tingkat pajak menuju nol persen masih dibiarkan. Setidaknya menurut pendapat Piketty.

(G005)

Oleh Gm Nur Lintang Muhammad
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2014