Jakarta (ANTARA News) - Ikatan Dokter Indonesia berharap kepada majelis Mahkamah Konstitusi untuk tidak memberlakukan ketentuan dan norma hukum yang biasa untuk penjahat atau kriminal kepada profesi dokter.

"Kami mohon kepada majelis hakim yang mulia untuk tidak memberlakukan kepada kami profesi dokter ketentuan-ketentuan atau norma-norma hukum yang biasa diberlakukan untuk pejahat atau kriminal," kata Ketua Umum IDI DR Zaenal Abidin MH, saat memberikan keterangan sebagai pihak terkait dalam sidang pengujian UU Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran di MK Jakarta, Kamis.

Zaenal meminta MK memberikan ketetapan hukum tentang prosedur hukum yang khusus (lex specialist) dalam menilai dan menentukan seorang dokter benar atau salah dalam menjalankan pekerjaan profesinya sebagai dokter.

"Memberlakukan proses pemeriksaan yang berjenjang/bertingkat dimulai dari proses pemeriksaan etika dan disiplin di MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) dan MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) sebagai proses pemeriksaan tingkat pertama," kata Zaenal.

Menurut dia, pemeriksaan tingkat pertama ini berfungsi sebagai penapis atau penilai apakah ada pelanggaran hukum atau tidak atas tindakan dokter tersebut.

"Apabila tidak ditemukan indikasi pelanggaran hukum, maka proses pemeriksaan dan pemberian sanksi cukup diputus di MKEK dan MKDKI, namun apabila ditemukan indikasi pelanggaran hukum maka akan diteruskan ke kepolisian atau pengadilan," kata Zaenal.

Ketua IDI ini juga menegaskan bahwa tidak ada satupun dokter dalam menjalankan pekerjaan profesinya memberikan pelayanan kesehatan yang bermaksud buruk dan niat jahat kepada pasiennya layaknya seorang kriminal.

Pengujian UU Praktik Kedokteran ini dimohonkan oleh Dokter Indonesia Bersatu (DIB), yang diwakili oleh dr Eva Sridiana Sp P, dr Agung Sapta Adi Sp An, dr Yadi Permana Sp B Onk, dan dr Irwan Kreshnamurti Sp OG.

Mereka menguji Pasal 66 ayat (3) UU Praktik Kedokteran, yakni ketentuan melaporkan dokter ke pihak yang berwenang karena adanya dugaan tindak pidana.

Pemohon menilai Pasal 66 ayat (3) UU Praktik Kedokteran memiliki interprestasi luas tentang tindakan yang digolongkan sebagai tindak pidana, sehingga ketentuan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan ancaman ketakutan dokter dalam memberikan pelayanan medis kepada masyarakat.

Mereka meminta tindakan kedokteran yang dapat dibawa ke ranah hukum pidana dibatasi dalam dua kondisi, yakni tindakan kedokteran yang mengandung kesengajaan (dolus/opzet) dan tindakan kedokteran yang mengandung kelalaian nyata/berat (culpa lata).

Pemohon mencontohkan tindakan kedokteran yang mengandung kesengajaan adalah melakukan perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan kehamilan yang tidak sesuai dengan UU.

Sedangkan tindakan kelalaian dokter, misalnya tertinggalnya peralatan medis dalam tubuh pasien, operasi yang seharusnya pada kaki kanan keliru pada kaki kiri dan seterusnya.

Selain kedua tindakan tersebut, lanjutnya, tidak tepat dan tidak dapat dijadikan obyek tindak pidana.

Untuk itu, pemohon meminta Pasal 66 ayat (3) UU Praktik Kedokteran harus dibaca: "Pengaduan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang sebatas hanya berlaku terhadap tindakan kedokteran dalam dua kondisi saja, yaitu tindakan kedokteran yang mengandung kesengajaan (dolus/opzet) atas akibat yang diancamkan pidana atau tindakan kedokteran yang mengandung kelalaian nyata/berat (cupta lata) dan telah dinyatakan terbukti demikian terlebih dahulu dalam sidang Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)".

Pewarta: Joko Susilo
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2014