Jakarta (ANTARA News) - Anas Urbaningrum mengungkapkan perjalanan politiknya sejak mahasiswa hingga menjadi Ketua Umum Partai Demokrat, karir yang jauh dari cita-cita awalnya yakni menjadi dosen.

"Ketika kuliah di FISIP Universitas Airlanga, saya tergolong mahasiswa sungguh-sungguh, selain belajar organisasi saya jadi mahasiwa yang agak serius, tujuan saya adalah nilai akademik saya tidak jeblok. Alhamdulilah hasilnya baik, saya lulusan terbaik, saya merasa punya hak untuk menjadi dosen lalu mendaftar untuk menjadi tenaga pengajar di kampus saya, tapi dua kali tidak berhasil alias gagal," kata Anas saat diperiksa sebagai terdakwa dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis malam.

Setelah dua kali ditolak menjadi dosen, Anas mengaku tidak lagi punya cita-cita.

"Setelah itu saya tidak punya definisi tentang cita-cita karena saya sudah mengusahakan belajar serius, lulusan terbaik, cum laude, mestinya pantas jadi dosen, tapi karena tidak diterima, jadi saya tidak punya cita-cita definitif harus jadi apa. Saya serahkan ke aliran sejarah saja," tambah Anas.

Ia pun akhirnya memutuskan aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

"Saya melanjutkan aktif di organisasi sampai diminta untuk menjadi salah satu ketua di pengurus besar HMI, dan teman-teman meminta saya sebagai calon ketua umum HMI. Saya tidak pernah meminta tapi diminta. Saya waktu itu ingat betul arusnya adalah arus politik intelektualisme, saya calon yang paling 'kecil' dan dipercaya jadi ketua umum Pengurus Besar HMI," jelas Anas.

Pasca-reformasi ia pun ikut menjadi salah satu anggota tim yang menyempurnakan UU Politik yang terdiri dari UU Parpol, UU Pemilu, UU Keormasan, dan perangkat politik lainnya.

"Pada 1998, Pak Ryas Rasyid membentuk Tim 7 yaitu tim revisi UU Politik dan saya diminta membantu menjadi anggota, setelah itu saya membantu Tim 11 yang membentuk KPU pada 1999, tim ini yang menyeleksi Parpol 1999, setelah itu saya diminta meneruskan tugas di KPU, setelah itu saya menjadi pengurus DPP Partai Demokrat," tambah Anas.

Di Demokrat, ia pun dicalonkan sebagai Ketua Umum oleh sejumlah pihak.

"Saya ingat betul saya tidak pernah menawarkan diri, apakah karena ada pengalaman akibat ikhtiar pribadi saya menjadi dosen ternyata tidak berhasil," tambah Anas.

Anas dalam perkara yang disidangkan itu diduga menerima "fee" sebesar 7-20 persen dari Permai Grup yang berasal dari proyek-proyek yang didanai APBN dalam bentuk 1 unit mobil Toyota Harrier senilai Rp670 juta, 1 unit mobil Toyota Vellfire seharga Rp735 juta, kegiatan survei pemenangan Rp478,6 juta dan uang Rp116,52 miliar dan 5,26 juta dolar AS dari berbagai proyek.

Uang tersebut digunakan untuk membayar hotel-hotel tempat menginap para pendukung Anas saat kongres Partai Demokrat di Bandung, pembiayaan posko tim relawan pemenangan Anas, biaya pertemuan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) dan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan pemberian uang saku kepada DPC, uang operasional dan "entertainment", biaya pertemuan tandingan dengan Andi Mallarangeng, road show Anas dan tim sukesesnya pada Maret-April 2010, deklarasi pencalonan Anas sebagai calon ketua umum di Hotel Sultan, biaya "event organizer", siaran langsung beberapa stasiun TV, pembelian telepon selular merek Blackberry, pembuatan iklan layanan masyarakat dan biaya komunikasi media.

Anas juga diduga melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan harta kekayaannya hingga mencapai Rp23,88 miliar.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2014