Jakarta (ANTARA News) - Tanggal 9 September setahun lalu Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) meluncurkan buku Grand Strategi “Pembangunan Olahraga Prestasi Nasional 2014-2024”.

Buku tersebut berisikan gagasan dan kampanye perencanaan mengenai program pembangunan nasional olahraga berprestasi mulai tahun 2014 hingga 2024.

"Buku sudah ada pada setiap KONI cabang daerah hingga para pemimpin pemerintahan di DPR, Kemendikbud dan Menpora,” kata Sekjen Koni Pusat E.F Hamidy dalam perbincangan dengan Antaranews awal pekan ini.

“Grand Strategi bisa menjadi acuan atau silabus terhadap program pengembangan prestasi atlet,“ tutur Hamidy.

“Bakat tidak selalu menentukan kemampuan olahragawan, tetapi faktor nonteknis seperti infrastruktur dan dukungan materi bisa mempengaruhi prestasi orang itu sendiri,” ujarnya.

Hamidy menceritakan ide pembuatan Grand Strategi berawal dari keinginan KONI mencontoh cara negara-negara tetangga dalam mengelola atau melaksanakan pengembangan atlet sehingga dapat memaksimalkan kemampuan individu ketika bertanding.

Penyusunan buku ini berlangsung selama kurang lebih satu tahun, tim penyusun terdiri atas POKJA Koni Pusat, Koni Provinsi, PP/PB Induk Cabang Olahraga, guru besar Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK), unsur pemerintah (Kemenpora, Kemendikbud) dan forum Dekan FIK se-Indonesia.

“Kami pernah mengadakan studi banding dengan Tiongkok, Malaysia, Thailand dan negara-negara lain, dari situ kami mencoba mengaplikasikan untuk pelatihan di Indonesia,” kata Hamidy.

Hasil dari pendalaman tersebut adalah buku Grand Strategi setebal 301 halaman, termasuk di dalamnya adalah pasal-pasal aturan yang mengatur tentang regulasi  industri olahraga.

Salah satu contoh yang layak ditiru adalah pembinaan bibit atlet yang dilakukan Tiongkok.

Hamidy mengemukakan pemilihan bibit atlet di Tiongkok dilakukan sejak anak berusia tujuh tahun.

Setelah itu, anak tersebut dipisahkan dari orang tuanya untuk dipindahkan ke sekolah khusus dengan pendidikan yang  lebih mengarah pada bakat kemampuan olahraga tanpa mengesampingkan kebutuhan bermain sebagai anak-anak.

Pembiayaan pendidikan sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah, bahkan sudah ada yang memberi uang saku lebih kepada anak dan keluarganya tersebut, tergantung kesepakatan serta kemampuan yang dibutuhkan.

Calon olahragawan di Tiongkok juga dijanjikan oleh pemerintah akan hidup layak hingga masa tua jika menghasilkan prestasi bagi negaranya, termasuk tawaran pekerjaan selain atlet di instansi pemerintahan setempat, dengan golongan pekerjaan sesuai dengan prestasi yang diraih.

 “Semakin berprestasi akan semakin tinggi jabatan pekerjaan yang ditawarkan kepada olahragawan, sehingga ada pemicu target yang sesuai harapan mereka,” tutur Hamidy.

Masalah
Semua rencana besar tidaklah lepas dari masalah-masalah yang ada dalam pelaksanaannya.

Buku Grand Strategi memuat 19 permasalahan pembinaan pengembangan atlet Indonesia yang menyebabkan prestasi olahraga menjadi labil atau tidak konsisten targetnya.

Hamidy hanya menyampaikan beberapa masalah yang menjadi persoalan klasik dan perlu dibenahi agar menjadi lebih baik.

Pertama, pemusatan latihan atlet hanya difokuskan pada ajang SEA Games, Asian Games, dan Olimpiade, padahal banyak ajang lainnya yang harus diikuti agar pengalaman olahragawan lebih terasah.

Kedua, kualitas dan kuantitas pengajar olahraga mulai tingkat SD di daerah kurang memadai untuk melihat bakat anak didiknya, apalagi di daerah yang kurang mendapat perhatian.

Ketiga, tidak adanya tim kusus yang terpadu dalam mencari bakat untuk menjadi bibit atlet berbakat, terutama di daerah pedalaman yang banyak menghasilkan bibit-bibit unggulan yang tidak terdeteksi.

 Keempat, kurangnya perhatian terhadap pelaku olahraga baik pelatih maupun atlet sendiri dari segi kesejahteraan sampai individu menjadi mantan atlet berprestasi, sehingga olahragawan dipandang menjadi bukan profesi, hanyalah pengabdian.

Kelima, dukungan dana untuk melengkapi infrastruktur pengembangan atlet baik untuk sarana dan pra sarana, sehingga bisa mempermudah proses pencapaian target.

“Masalah paling krusial adalah faktor pendanaan, kita tahu jika ada dukungan banyak dana yang konsisten, maka bisa dimaksimalkan untuk pengembangan atlet menjadi lebih baik,” kata Hamidy.

Lewat Grand Strategi, KONI juga mencatumkan solusinya agar hambatan itu bisa dikurangi.

“Atlet belum menjadi profesi yang menjanjikan bagi penghidupan pelakunya, kami sedang menuju kearah sana untuk mewujudkannya,” ucapnya.

Koni mencoba merangkul pihak terkait untuk memajukan prestasi olahraga nasional menjadi lebih profesional serta terjamin, di antaranya sosialisasi kepada Wakil Presiden RI, Menko Kesra, Bappenas, Menpora, Mendagri, Menkeu, Kementrian BUMN, DPR RI, Gubernur, Wali Kota, DPRD, Koni Daerah, Induk Organisasi Olahraga, dan sekolah akademisi.

“Saya tahu masalah itu tidaklah mudah dan tidak cepat selesai dalam waktu singkat, makanya ini adalah implementasi  jangka panjang hingga tahun 2025,” tuturnya.

Pewarta: Afut Syafril
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014