Jakarta (ANTARA News) - Beruntunglah Husnan, lahir dari keluarga para ulama dan tumbuh berkembang menjadi santri yang moderat. Ia tidak sekadar santri yang tunak di pondok saja, namun terbang menapaki kaki-kaki langit.

Itulah sosok Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Husnan Bey Fananie.

"Kamu jangan pernah punya cita-cita seperti saya! Itu tidak boleh! Kamu harus memiliki cita-cita yang tinggi dari saya, Mbah Fananie maupun Mbah Sahal. Kamu harus memiliki cita-cita yang lebih tinggi dari kami semua!".

Bentakan Mbah Zar atau KH Ahmad Zarkasyi, kakek Husnan, terngiang jelas dalam benak Husnan remaja. Merasuk ke hati dan tertanam selamanya dalam pikirannya.

Kata-kata itu pula yang membawa kakinya melangkah ke negeri dengan peradaban tinggi, Pakistan, hingga negeri "kincir angin" Belanda.

Semua itu tertuang dalam buku biografi "Husnan, Menapaki Kaki-Kaki Langit", yang diterbitkan oleh Fananie Center, Juli 2014.

Husnan Bey Fananie lahir dari pasangan Drs H Rusdy Bey Fananie dengan Hj Kiki Zakiah.

Rusdy Bey Fananie adalah putra dari KH Zainuddin Fananie, seorang tokoh yang tidak hanya mendirikan Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, tetapi juga politisi dan guru spiritual Bung Karno ketika dibuang ke Bengkulu.

Zainuddin Fananie (sang kakek) mendirikan Partai Serikat Islam Indonesia (PSII) di Palembang.

Saat itu, Zainuddin Fananie sedang bertugas menjadi Konsul Muhammadiyah se-Sumatera Selatan.

Sementara, Pondok Modern Darussalam Gontor itu didirikan Zainuddin Fananie bersama kedua saudara kandungnya yakni KH Ahmad Sahal dan KH Imam Zarkasyi di Ponorogo, Jawa Timur, 10 April 1926.

Karena itu, pendiri dari pesantren itu hingga kini dikenal dengan "trimurti" (tiga bersaudara) yang merupakan putra Kiai Santoso Anom Besari.

Tiga bersaudara itu (KH Ahmad Sahal, KH Zainudin Fananie, dan KH Imam Zarkasyi) merupakan kakek Husnan yang menginspirasi kehidupannya semasa muda hingga kini.

Meski dari keluarga yang boleh dikatakan tergolong berada dan terpandang, namun hidup Husnan muda tidaklah mudah.

Husnan meniti karir dari seorang guru, pelukis, aktivis, asisten pribadi, hingga sekarang menjadi legislator.

Ia pernah menjadi pelukis dan menjajakan lukisannya dengan keliling Lahore. Kota tempatnya menimba ilmu. Husnan muda juga sempat mengandalkan keahliannya bermain piano untuk menyambung hidup.

Lain lagi ceritanya ketika di Belanda. Husnan menjadi "james" atau penjaga masjid di Mushalla Al Ittihad.

Di mushalla itu pula, Tuhan mempertemukan dirinya dengan Saiful Hadi Chalid, yang saat ini menjadi Direktur Utama Perum LKBN Antara.

Saat itu, Saiful Hadi Chalid ditempatkan menjadi Kepala Perwakilan LKBN Antara se-Eropa Barat yang berkedudukan di Den Haag.

Dari pertemuan itu pula, ia ditawari menjadi wartawan Antara. Saiful Hadi Chalid pula-lah yang menjadi guru jurnalistik bagi Husnan.

Akhirnya, Husnan pun menjadi "part time journalist" untuk Antara di Belanda selama kurun 1993-1995.

Husnan yang sempat memimpin majalah pesantren itu pun melanjutkan pengalaman jurnalistik dengan menjadi reporter dan editor "Harian Independen" di Jakarta (1998-1999), lalu reporter dan editor "Indonesian Observer" di Jakarta (1999), hingga akhirnya ke PPP dan Gedung Senayan (DPR).

Husnan selalu terngiang ucapan kakekknya Mbah Zar dan Mbah Sahal yang menekankan pentingnya kemandirian hidup.

"Berani hidup tak takut mati, takit mati jangan hidup, takut hidup mati saja. Hidup hanya sekali, hiduplah yang berarti," begitu ucap Mbah Sahal.

Sekembalinya ke Tanah Air. Ia bergabung dengan PPP. Karirnya terus menanjak dan menjadi legislator. Sebagai politisi PPP, ia pernah mengikuti pertemuan politisi Indonesia-Belanda atas prakarsa "Netherlands Institute for Multiparty Democracy" (NIMD) pada April 2007.

"Isu demokrasi itu selalu berhadapan dengan dua soal yakni soal kebebasan dan soal keamanan atau ketertiban. Demokrasi dalam konteks global adalah bagian-bagian toleran, bagian hak-hak pribadi. Toleran itu seperti mixer blender, dia yang mengaduk, dia yang memfilter, kira-kira apa yang bisa dipakai di Indonesia dari konteks demokrasi yang global itu," ujarnya.

Meski telah melalang buana, Husnan tak melupakan akarnya sebagai santri. Tak ada upaya untuk menutup-nutupi sosok dirinya sebagai santri.

Bahkan, ketika teman-temannya di parlemen berusaha menutupi jati diri sebagai santri, Husnan justru berbangga.

Pewarta: Indriani
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014