Seni lukis tumbuh dan berkembang di Jelekong sejak 1969 berkat seorang warga asli daerah itu bernama Odim Rohidin.

Begitu menetap kembali di kampung halamannya di pinggiran Bandung setelah merantau ke Jakarta, Odim langsung menerapkan keahliannya melukis sebagai sesuatu yang bisa menghasilkan uang.

Menurut cerita sejumlah orang di kampung itu, keahlian melukis itulah yang didapat Odim selama merantau. Di Jelekong, dia melukis dan melukis dan melukis serta memasarkannya sendiri.

Awal 1980an dikenang sejumlah orang di daerah itu sebagai awal dari berubahnya Jelekong menjadi kampungnya pelukis, yaitu ketika Odim mulai tidak sanggup melayani pesanan seorang diri.

"Ketika itu mulai banyak yang datang mencari lukisan ke Odim. Orang asing mulai berdatangan ke Jelekong demi mendapatkan lukisan unik yang mereka inginkan," kata Asep Sumarnas (50), anak didik Odim.

Karena itulah Odim mengajak beberapa keponakannya untuk membantu menyelesaikan order lukisan. Ia mengajari keponakan-keponakannya melukis sampai mereka bisa dan mahir sepertinya dirinya.

Kemahiran melukis itulah warisan yang ditinggalkan Odim bagi banyak orang di kampung halamannya.

Sepeninggal Odim, para ahli waris kemahiran melukis itu juga terus menurunkan ilmunya kepada saudara dan teman-temannya. Begitu seterusnya sampai akhirnya lukisan Jelekong terus berkembang. Jelekong menjadi kampung pemasok lukisan bagi pasar seni di banyak kota.

"Kami akan selalu mempertahankan seni lukis di Jelekong karena melukis adalah kebutuhan hidup kami," ujar Asep Sumarnas.

Bahkan, kata dia, saat ini anak SD pun sudah mulai belajar melukis demi mempertahankan seni lukis di Jelekong.

Menurut Asep, warga Jelekong kebanyakan menghasilkan karya lukisnya di rumah masing-masing. Mereka menyebut usaha mereka sebagai industri rumahan. Hanya beberapa orang saja yang memiliki galeri.

"Seiring berjalannya waktu, maka galeri bertambah. Dan kini sudah ada 10 galeri di Jelekong," ujar Asep, pengrajin lukisan yang berproduksi di rumahnya.

Maka, orang yang masuk kawasan Jelekong akan langsung melihat begitu banyak lukisan yang dipajang di teras-teras rumah. Lukisan aneka ragam dan warna-warni yang dijajar begitu saja itulah yang nantinya bakal dibeli oleh bandar dari berbagai daerah, termasuk dibeli oleh bandar lukisan dari Jalan Braga, Bandung.

Jelekong merupakan kampung yang berada di lereng sebuah gunung yang berjarak 12 KM dari Kota Bandung. Jelekong berada di Jalan Giriharja, Kelurahan Jelekong, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung.

Kampung Jelekong terdiri atas empat RW dengan jumlah penduduk kurang lebih 4.800 jiwa. Lebih dari 500 orang penduduk kampung itu adalah pengrajin lukisan yang menjadikan lukisan sebagai mata pencahariannya.


Kanvas Sederhana

Dudung Haerudin (38), warga yang juga pelukis, mengatakan, awalnya lukisan Jelekong dibuat pada kanvas yang sangat sederhana dengan menggunakan cat minyak yang sederhana dan murah.

"Lukisan yang dibuat juga hanya lukisan pemandangan dengan menggunakan kuas dan pisau palet," ujar pelukis tersebut.

Seiring berjalannya waktu, kata dia, lukisan Jelekong mengalami perkembangan. Terutama sejak tahun 1994, yaitu setelah adanya berbagai usaha pembinaan dari berbagai pihak yang peduli akan keberadaan lukisan di Jelekong.

Kini para pengrajin lukisan tersebut sudah menggunakan kanvas yang lebih berkualitas.

Selain adanya perubahan dari kanvas dan cat minyak yang digunakan, tema lukisan pun berubah. Lukisan asal Jelekong sudah bervariasi, tak hanya pemandangan. Seniman Jelekong juga menggarap tema lukisan bunga, hewan, kaligrafi, manusia.

Pihak-pihak yang terus melakukan pembinaan terhadap para pengrajin lukisan di antaranya Rotari Club, Seni Rupa IKIP Bandung, Seni Rupa ITB, dan STSI Bandung.

Pada 2003, sanggar seni lukis Dwi Matra menggelar pameran di Balai Sidang Senayan Jakarta selama lima hari. Pameran lukisan yang diberi nama "Pameran Lukisan Jelekong" itu dilaksanakan di bawah binaan PT Krakatu Steel.

"Pameran tersebut adalah suatu kebanggan bagi kami karena ternyata di luar sana banyak orang yang menghargai karya kami," ujar Caki, penggerak di sanggar seni lukis Dwi Matra.

Menurut Caki, kendala utama bagi pengrajin lukisan di Jelekong sampai saat ini adalah pemasaran. Pemasaran lukisan Jelekong belum mencapai target mereka. Mereka masih bergantung pada tengkulak yang ada di dalam negeri maupun luar negeri.

"Kami ingin melepaskan diri dari tengkulak-tengkulak tersebut dan memiliki pasar sendiri," kata Caki.

Menurut Asep Sumarnas, pesanan memang berdatangan dari berbagai wilayah di Nusantara seperti Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan yang lainnya. Namun hal tersebut bukan suatu kebanggaan, kata dia, bukan pula sebuah keuntungan bagi para pengrajin, karena harga yang ditawarkan tidak sesuai dengan keinginan mereka.

"Hampir seminggu sekali atau dua kali kami mengirimkan beberapa lukisan ke Bali. Namun sayangnya lukisan yang masuk ke pasar luar negeri itu justru dari tengkulak," kata Asep.

Baik Caki, yang merupakan penggerak galeri, maupun Asep, yang termasuk pengrajin industri rumahan, memiliki harapan yang sama. Mereka ingin menciptakan pasar seni sendiri dan menghilangkan keterlibatan tengkulak dari pemasaran lukisan mereka.

Mereka tak ingin usaha mereka mengalami kerugian terus menerus karena bahan baku yang terus naik, sedangkan harga yang ditawarkan cenderung tak berubah.

"Kadang usaha kami ini besar pasak daripada tiang. Saat ini bahan baku lukisannya sedang naik," ujar Caki.

Karena itulah mereka berharap pemerintah membantu mewujudkan harapan mereka demi kelancaran usaha yang mereka rintis sejak 35 tahun lalu.

"Usaha kami ini sudah lama, dan kami ingin memasarkannya sendiri dengan cara memiliki pasar sendiri," ujar Asep Sumarnas.

Oleh Sapto HP dan Rara Uin
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2014