Di satu sisi para dokter harus menangani atau mengambil tindakan medis secara cepat, tepat, dan penuh hat-hati. Namun, sisi lainnya, jika ada masalah para dokter, akan disalahkan seolah sehat dan mati ada di tangan dokter,"
Jakarta (ANTARA News) - Lembaga Studi Hukum (LSH) Jakarta memandang perlu para dokter membentengi diri agar tidak berurusan dengan penegak hukum karena tidak menutup kemungkinan mereka mengalami dilema ketika menangani pasiennya.

"Di satu sisi para dokter harus menangani atau mengambil tindakan medis secara cepat, tepat, dan penuh hat-hati. Namun, sisi lainnya, jika ada masalah para dokter, akan disalahkan seolah sehat dan mati ada di tangan dokter," kata Ketua Lembaga Studi Hukum (LSH) Jakarta Dr. Laksanto Utomo dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa.

Persepsi itu, kata Laksanto, yang membuat para medis ogah melaksanakan tindakan medis secara cepat dan akurat karena hukum di Indonesia belum melindungi mereka secara adil dan bermanfaat.

Oleh karena itu, dia memandang perlu para dokter dan "lawyer" bertemu dalam satu meja untuk membahas masalah itu mengingat adanya putusan hukum yang bersifat paradoks, kasusnya sama, tetapi putusannya dapat berbeda-beda.

Dalam jumpa pers itu juga dihadiri anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia Dr. dr. Dini Iswandari, advokat bidang kedokteran M. Luthfie Hakim, S.H., M.H., Lenny Nadriana, dan pengacara senior Risma Situmorang.

Dalam kaitan itu Laksanto memberikan contoh putusan yang paradoks antara kasus yang sama, yakni untuk dokter Ayu dan dr. Bambang Suprapto dalam kasus yang mirip sama, putusan Mahkamah Agung dapat berbeda.

Mahkamah Agung (MA) memutusnya putusan satu tahun enam bulan dalam perkara malapraktik dr. Bambang atas meninggalnya Johanes Tri Handoko di Malang, Jawa Timur.

Keputusan MA itu, kata M. Lutfie, bertentangan dengan hasil Risalah Sidang Perkara Nomor 4/PUU-V/2007 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran terhadap UUD 1945 tertanggal 19 Juni 2007 di Mahkamah Konstitusi (MK).

Putusan untuk dr. Bambang itu, katanya, dinilai janggal karena pada Pasal 76 dan Pasal 79 yang dijadikan dasar menjeratnya sudah dianulir hakim konstitusi pada tanggal 19 Juni 2007.

Oleh karena itu, kata dia, tampak aneh jika suatu pasal untuk menjerat seseorang yang sudah dibatalkan oleh lembaga berwenang. Harusnya, menurut dia, hanya dapat diputus denda sesuai dengan Pasal 76 Rp100 juta dan sesuai dengan Pasal 79 denda Rp50 juta sesuai dengan UU No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran. Akan tetapi, faktanya dia harus menjalani pidana kurungan.

Di pihak lain, kasus dokter Ayu dan kawan-kawan yang di tingkat awal (PN) dinilai malapraktik atas meninggalnya pasien yang mereka tangani, Julia Fransiska Maketey, di Rumah Sakit R.D. Kandou Malalayang, Manado, Sulawesi Utara, 10 April 2010. Di PN dr. Ayu dinyatakan tidak bersalah. Namun, di tingkat kasasi di Mahkamah Agung di bawah Majelis Kasasi sebagai Ketua Majelis Artidjo Alkostar, dr. Ayu dkk. divonis 10 bulan penjara.

Sebagaimana diketahui, hasil PK yang diajukan untuk kasus dr. Ayu dkk. diterima MA dan putusan PK bernomor 79 PK/PID/2013 memutus bebas. Nah, putusan hukum yang saling paradoks itulah membuat tidak adanya kepastian hukum untuk para dokter dan lawyer, Lutfie, seraya menambahkan, ini suatu drama, dalam "law enforcement" pada layanan medis.

Dalam kaitan ini, Laksanto yang juga Dekan FH Universitas Sahid Jakarta akan menyelengarakan seminar/workshop yang melibatkan banyak pemangku kepentingan, para dokter, lawyer, pemilik rumah sakit, dan masyarakat umum.

Workshop ini akan mengundang hakim Komisi Yudisial (KY) Dr. Taufikurahman Sahuri untuk melihat putusan yang kontraproduktif itu. Apakah perlu KY menjemput bola atau menunggu adanya laporan dari masyarat. Intinya, putusan hukum yang tidak pasti terhadap kasus malapraktik akan menakutkan bagi siapa saja, khususnya para dokter.

Doktor dr. Dini Iswandari menambahkan bahwa pihaknya tidak akan membabi buta membela dokter yang salah. Jika dokter salah, pihaknya akan juga mencabut izin praktik atau merekomendasikan ke Ikatan Dokter Indonesia di bidang dewan etik.

Ia menegaskan MKDKI lahir tujuanya untuk membela para pasien. Oleh karena itu para dokter dan dokter gigi harus melaksanakan standar operasi dalam menjalankan tugasnya.

Dini juga setuju jika seminar nanti dapat "membuka mata" para lawyer dan dokter untuk meletakkan landasan hukum jika seorang dokter diduga melakukan malapraktik. Apakah pihak berwajib langsung dapat memproses atau menunggu hasil dari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
(Y005/D007)

Pewarta: Theo Yusuf
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014