Mencermati tuntutan JPU, sunguh itu adalah tuntutan yang sangat lengkap, berat dan di luar akal sehat,"
Jakarta (ANTARA News) - Terdakwa dalam perkara penerimaan hadiah dari sejumlah proyek pemerintah dan tindak pidana pencucian uang, Anas Urbaningrum, mengungkapkan bahwa tuntutan jaksa terhadap dirinya lengkap, berat dan di luar akal sehat.

"Mencermati tuntutan JPU, sunguh itu adalah tuntutan yang sangat lengkap, berat dan di luar akal sehat," kata Anas dalam sidang pembacaan nota pembelaan (pledoi) di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.

Mantan Ketua Umum Partai Demokrat itu membacakan pledoi pribadinya yang ditulis tangan setebal 80 halaman selama dua jam dengan berdiri.

"Lengkap karena merupakan gabungan dari hukuman badan, uang pengganti, perampasan aset, denda dan pencabutan hak sipil. Berat karena tidak sesuai fakta persidangan dan di luar akal sehat karena tidak bisa dibedakan ekspresi kemarahan, kebencian dan kezaliman," ungkap Anas.

Tuntutan berat tersebut, menurut Anas, karena ia dituduh melakukan "obstruction of justice" (menghalang-halangi proses peradilan).

"Bagaimana seorang terdakwa yang ditahan, dicabut kebebasannya tapi disebut menghalang-halangi keadilan? Apa yang dilakukan terdakwa adalah menggali fakta-fakta selengkap mungkin agar proporsional tentang perkara yang didakwakan. Bahkan fasilitas hak ingkar sekalipun terdakwa tidak mengambil dan memilih untuk menjelaskan dan memberikan klarifikasi agar persidangan mendapatkan perspektif yang benar dan sesuai dengan kenyataannya," kata Anas.

Anas menilai bahwa orang yang seharusnya mendapat label menghalang-halangi proses peradilan adalah perencanaan dan tindakan oleh mantan bendahara umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin dan para anak buahnya yang menurut Anas bertujuan mencelakakan dirinya.

"Tuntutan hukuman badan selama 15 tahun bukan saja menjadi angka yang berjalan sendirian dan terlepas dari konteks fakta-fakta persidangan, tetapi juga terasa dimotivasi oleh sesuatu yang tersembunyi dan penuh misteri," kata Anas.

Sedangkan terhadap tuntutan pencabutan hak politik atau hak untuk dipilih pada jabatan publik, menurut Anas, tidak berdasar.

"Bukan saja hak tersebut berselisih dengan hak sipil warga negara, tapi juga karena perkara yang didakwakan sesungguhnya bukan termasuk kategori korupsi politik, melainkan peristiwa politik kompetisi demokratik internal partai. Memaksakan pencabutan hak politik secara tidak patut bukanlah tindakan hukum dan adil melainkan tindakan politik yang diberi sampul hukum dan bisa disebut sebagai kekerasan politik dan hukum sekaligus," tegas Anas.

Anas dalam perkara ini dituntut 15 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider lima bulan kurungan dan ditambah hukuman tambahan yaitu membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp94,18 miliar dan 5.26 juta dolar AS, pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik, serta pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) atas nama PT Arina Kotajaya seluas kurang lebih lima hingga 10 ribu hektar di kecamatan Bengalon dan Kongbeng, kabupaten Kutai Timur.

Tuntutan jaksa KPK berdasarkan pasal 12 huruf a jo pasal 18 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 pasal 64 ayat 1 KUHP.

Anas juga didakwa berdasarkan pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang pasal 65 ayat 1 KUHP dan pasal 3 ayat 1 huruf c UU Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah berdasarkan UU No 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Anas dalam perkara ini diduga menerima "fee" sebesar 7-20 persen dari Permai Grup yang berasal dari proyek-proyek yang didanai APBN dalam bentuk 1 unit mobil Toyota Harrier senilai Rp670 juta, 1 unit mobil Toyota Vellfire seharga Rp735 juta, kegiatan survei pemenangan Rp478,6 juta dan uang Rp116,52 miliar dan 5,26 juta dolar AS dari berbagai proyek.

Uang tersebut digunakan untuk membayar hotel-hotel tempat menginap para pendukung Anas saat kongres Partai Demokrat di Bandung, pembiayaan posko tim relawan pemenangan Anas, biaya pertemuan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) dan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan pemberian uang saku kepada DPC, uang operasional dan "entertainment".

Selain itu, biaya pertemuan tandingan dengan Andi Mallarangeng, road show Anas dan tim sukesesnya pada Maret-April 2010, deklarasi pencalonan Anas sebagai calon ketua umum di Hotel Sultan, biaya "event organizer", siaran langsung beberapa stasiun TV, pembelian telepon selular merek Blackberry, pembuatan iklan layanan masyarakat dan biaya komunikasi media.

Anas juga diduga melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU harta kekayaannya hingga mencapai Rp23,88 miliar.
(D017/S023)

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014