Jakarta (ANTARA News) - "Kita akan berlatih komposisi tidak dengan alat musik, namun dengan membuat ketukan-ketukan di meja," kata komponis Slamet Abdul Sjukur (SAS) mengawali kursus kilat komposisi di Institut Kesenian Jakarta pada19-20 September.

Musisi bersuara lembut yang Juni lalu merayakan ulang tahun ke-79 itu kemudian mengetukkan tangannya di meja secara berirama dan menunjuk seorang peserta Kursus Kilat Komposisi (Kukiko) menirukannya.
 
Latihan itu, menurut dia, diperlukan untuk melihat kemampuan seseorang meniru irama ketukan, melatih daya ingat.

"Daya ingat ibarat burung liar yang mudah terbang. Latihan ini ditujukan untuk membangkitkan daya ingat yang selama ini dimanjakan dengan budaya mencatat. Mencatat memang agar tidak menjadi lupa, tapi akibat sampingannya membuat ingatan menjadi tumpul," katanya.

Slamet juga memutarkan lagu "Watermelon Man" dari musisi jazz Herbie Hancock untuk mengajari peserta menganalisis musik.

"Belajar komposisi berarti belajar analisis lagu. Mempertajam kemampuan analisis juga berpengaruh pada peningkatan kepedulian kita terhadap kehidupan sekitar," kata musisi yang lahir di Surabaya tanggal 30 Juni 1935 itu.

Pada akhir sesi, musisi yang pernah belajar di Conservatoire National Supérieur de Musique de Paris dan École Normale de Musique de Paris itu menjelaskan dua prinsip dasar dalam membuat komposisi yang dia sebut dengan prinsip tukang copet dan cinta abadi.

Komposisi musik, menurut dia, harus mampu merebut perhatian sasaran dalam sekejap seperti tukang copet mencuri dompet incaran dalam waktu singkat.

"Jika diterapkan dalam komposisi musik menjadi strategi bagaimana membuat pendengar penasaran terhadap apa yang akan terdengar berikutnya," katanya.

Tentang prinsip yang kedua, ia mengatakan bahwa merebut hati dalam sekejap bukan hal yang mudah, apalagi mempertahankan hati yang sudah terebut tidak melepaskan keterikatan seperti cinta abadi.

"Ini strategi bagaimana membuat pendengar selalu terpukau. Kuncinya hanya pada masalah mengelola situasi sehingga tidak pernah membosankan," kata Slamet, yang ingin mengajari orang mengarang musik lewat Kukiko.

Selain itu, ia mengatakan, dalam belajar musik lebih penting mengalami dahulu, baru kemudian belajar teknik.


Pemula sampai pengajar

Peserta sesi terakhir Kukiko yang jumlahnya 16 orang bukan hanya pemula yang ingin tahu tentang komposisi musik saja, tapi juga beberapa pengajar yang tertarik dengan karya-karya Slamet, termasuk di antaranya Christanto Hadijaya, guru musik di Sekolah Tinggi Teologi Internasional Harvest Jakarta.

"Acara-acara seperti Kukiko ini sangat bagus, walaupun tidak bisa dibuat secara mewah karena kekurangan SDM, namun mampu memberikan pemahaman yang lebih luas tentang apa itu musik dan komposisi. Dan itu bisa memberikan gizi buat saya," kata lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu.

Cucu Slamet, Gema Satria, juga ikut. Ia mengaku mendapat pengetahuan tentang analisis musik dari kursus itu dan berencana menganalisis karya-karya eyangnya.

"Saya ingin buktikan itu dan saya ingin bisa mendengar dan memahami karya SAS. Saya akan dengarkan dan analisa lagi karya-karya Eyang Slamet," kata lulusan Institut Teknologi Bandung tersebut.

Selain itu ada Lektor Program Studi Jerman Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Svann Langguth (47), yang mengaku mengikuti kursus untuk lebih mengenal Slamet dan pendekatannya dalam bermusik.

"Saya penasaran dengan sifat Slamet Abdul Sjukur sebagai salah satu komponis musik modern paling hebat di Indonesia. Saya ingin lihat bagaimana pendekatannya dalam musik. Dan saya memang sedang cari inspirasi untuk bunyi-bunyi elektro-akustik yang saya ingin rekam secara amatir," kata Svann, yang berasal dari Aachen, Jerman

Svann, yang sejak kecil suka musik tapi cita-citanya menjadi pemusik belum kesampaian, ikut kursus untuk mempelajari dasar komposisi musik. "Mustahil untuk bisa tahu segala hal tentang komposisi musik, tapi selama tiga jam ini setidaknya saya bisa menangkap 'dasar' nya," katanya.

Komponis Indra Perkasa juga pernah menjadi peserta kursus komposisi Slamet Abdul Sjukur yang diadakan sejak tahun 2012.

"Yang dia dapat dari saya itu bukan sesuatu yang elementer tapi melengkapi apa yang sudah dia dapat sebelumnya di Amerika. Itu merupakan cara saya bagaimana meringkas pelajaran sedemikian rupa dari awal hingga akhir, sehingga tidak perlu membuat orang stres," kata SAS tentang Indra, yang sudah belajar komposisi musik selama dua tahun di Berkeley.


Tukang dan Arsitek


Slamet mengatakan di Indonesia kebanyakan orang menganggap belajar musik adalah belajar memainkan alat musik seperti piano, gitar, drum, atau olah vokal. Padahal sebenarnya lebih luas dari itu.

Peraih penghargaan Officer de L'ordre des Arts et des Lettres dari Prancis tahun 2000 itu lantas menyebut dunia musik serupa dengan dunia arsitektur. Dia mengibaratkan para pemain musik dan penyanyi sebagai tukang dan komponis sebagai arsitek.

"Harus ada yang merancang dan harus ada yang menggarap. Arsitek betapapun hebatnya tidak akan berhasil membuat gedung tanpa bantuan tukang-tukang," kata Slamet, yang mendapat penghargaan Medaille Commemorative Zoltan Kodaly dari Hungaria tahun 1983 atas usahanya menyebarluaskan pendidikan musik.

"Nah di Indonesia itu yang banyak tukang-tukang, jadi penyanyi, pemain drum, itu tukang semua. Tidak berarti mereka kurang penting daripada arsitek. Tukang tanpa bantuan arsitek atau tanpa pengetahuan arsitektur paling hanya membuat warung rokok, tidak akan mampu membuat gedung bertingkat."

"Ini bukan masalah siapa yang penting, ini perkara pembagian tugas," tambah dia.

Komponis yang menghasilkan karya-karya seperti Point Contre dan Parentheses I-VI itu menekankan bahwa belajar musik bukan hanya tentang belajar bermain, namun juga belajar mencipta.

"Di Indonesia, yang namanya belajar musik hanya belajar main, bukan belajar mencipta. Itulah akibatnya kita hanya menciptakan kuli, membawakan koper dari juragan-juragan. Kalau kita tidak punya komponis sendiri, kita hanya akan memainkan musik dari komponis-komponis asing," demikian Slamet Abdul Sjukur.

Oleh Roberto Calvinantya Basuki dan Yashinta Difa
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2014