Terdakwa terbukti menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul kekayaan telah terpenuhi dalam perbuatan terdakwa,"
Jakarta (ANTARA News) - Majelis hakim yang mengadili mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum menilai Anas menyamarkan sumber harta kekayaan berupa rumah dan tanah sehingga terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang.

"Terdakwa terbukti menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul kekayaan telah terpenuhi dalam perbuatan terdakwa," kata anggota majelis hakim Prim Hariyadi dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.

Dalam sidang tersebut, hakim memvonis Anas dengan 8 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp57,59 miliar dan 5,26 juta dolar AS subsider 3 bulan kurungan.

Vonis tersebut berdasarkan pasal 11 jo pasal 18 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 pasal 64 ayat 1 KUHP mengenai penyelenggara negara yang menerima hadiah.

Dakwaan kedua dari pasal 3 ayat 1 huruf c UU Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah berdasarkan UU No 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang tentang perbuatan menyamarkan harta kekayaan yang diperoleh dari perbuatan tindak pidana.

Gaji Anas selaku anggota DPR sejak 1 Oktober 2009 sampai 21 Agustus 2010 yang seluruhnya 534 juta dianggap tidak mencukupi untuk membeli aset berupa rumah dan tanah.

Rumah tersebut yaitu berada di Jalan Teluk Semangka seluas 639 meter persegi senilai Rp3,5 miliar dan di Jalan Selat Makassar senilai Rp690 juta yang dibeli melalui Nurachmad Rusdam.

"Di persidangan saksi Carel Ticulau menerangkan bahwa pengusaha Ayung yang sudah meninggal memberikan Rp5 miliar yang dicicil 4 kali, tapi sistem hukum Indonesia menyatakan butuh minimal 2 alat bukti dan kenyataannya hanya ada saksi Carel Ticualu yang menyatakan uang dari Ayung dan Ayung sudah meninggal dunia, sehingga keterangan satu saksi saja tidak bisa digunakan untuk meyakinkan hakim," ungkap hakim.

Dalam surat tuntutan jaksa, Anas mendapatkan bantuan dana dari M Nazaruddin melalui Permai Grup sebesar Rp30 miliar dan 5,225 juta dolar AS untuk pemenangan sebagai Ketum Partai Demokrat dalam kongres di Bandung 2010. Namun dari uang itu masih tersisa 1,3 juta dolar AS dan Rp700 juta disimpan untuk pembelian sejumlah aset berupa rumah dan tanah yaitu yang berada di Duren Sawit dan Mantrijeron.

Rumah dan bangunan lain yang juga dinilai TPPU adalah tanah seluas 200 meter persegi di Jalan DI Panjaitan No 57 Mantrijeron Yogyakarta dan Jalan DI Panjaitan No 139 Mantrijeron seluas 7.870 meter persegi dengan total senilai Rp15,74 miliar.

"Hakim menemukan kejanggalan yaitu uang dari Atabik Ali dibawa oleh Nurachmad Rusdam mengatakan uang dari Atabik Ali berupa Rp1 miliar dibawa menggunakan mobil, Nur tidak mengonfirmasi ke Atabik Ali tapi ke ibu Anas, sehingga janggal kalau Rp1 miliar dari Nurachmad tidak dikirim lewat transfer karena berisiko membawa uang Rp1 miliar dari mobil," kata hakim Sutio.

Sisa pembayaran digunakan dengan uang 1,1 juta dolar AS, dan emas batangan. Atabik Ali mengaku bahwa uang tersebut berasal dari uang yang dikumpulkan Atabik sejak 1980-an.

"Meski saksi Atabik Ali mengatakan sudah mengumpulkan valuta asing sejak 1980-an tapi berdasarkan penjelasan dari Steve Kessler US Department of Justice Office of Overseas Prosecution Development Assitance and Training melalui email mengatakan nomor seri pembayaran untuk pembelian tanah dan bangunan di mantri jeron adalah uang dolar baru yang dikeluarkan pada 2006 sehingga tidak benar Atabik Ali yang menjelaskan bahwa uang dolar AS dikumpulkan dengan cara membeli dolar sejak 1989," ungkap hakim.

Sehingga uang tersebut bukan berasal dari Atabik Ali tapi dari tindak pidana korupsi yaitu fee proyek-proyek pemerintah sebagai realisasi kerja sama Anas yang mendapatkan proyek-proyek pemerintah.

Namun hakim menilai Anas tidak terbukti melakukan pencucian uang seperti dakwaan ketiga yang berasal dari pasal 3 ayat 1 huruf c UU Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah berdasarkan UU No 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang terkait pemberian uang untuk mendapatkan Izin Usaha Pertambangan PT Arina Kota jaya.

"Satu-satunya yang mengatakan ingat adalah pertemuan di Hotel Sultan hanyalah Muhammad Nazaruddin, sehingga berlaku azas ulus testi ulus testis, satu saksi bukan saksi. Dalam pertimbangan, tidak ternyata terdakwa memberikan pembayaran uang Rp3 miliar dari Permai Grup kepada Khalilur untuk pengurusan IPU PT Arina Kota Jaya, unsur membelajakan dengan sengaja harta dari tindak pidana, menurut hemat majelis tidak terbukti dilakukan," kata anggota majelis hakim Prim Hariyadi.
(D017/S023)

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014