Jakarta (ANTARA News) - Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia Lana Soelistyaningsih mengingatkan perlunya bank-bank dalam negeri meningkatkan modal agar bisa bersaing dengan bank-bank asing.

"Penyaluran kredit Singapura saat ini sudah mencapai 120 persen terhadap PDB, mereka (industri perbankannya) sudah mengalami titik jenuh. Saya khawatir Indonesia dapat dijadikan pasar bagi bank asing yang struktur permodalannya jauh lebih kuat dan besar jika tidak ada penguatan permodalan," ujar Lana di Jakarta, Senin.

Salah satu lembaga internasional, McKinsey Global Institute, menyatakan Indonesia akan menjadi negara perekonomian ketujuh terbesar dunia pada 2030. Kelas menengah (consuming class) meningkat drastis dari 45 juta orang menjadi 135 juta orang.

Selain itu terjadi peningkatan kontribusi populasi yang tinggal di perkotaan, dari 53 persen penduduk perkotaan menyumbang 74 persen PDB menjadi 71 persen penduduk perkotaan menyumbang 86 persen PDB. Kebutuhan tenaga pekerja terampil juga diproyeksikan meningkat dari 55 juta orang menjadi 113 juta orang.

"Konsolidasi membuat perbankan menjadi lebih kuat dari sisi permodalan dan kemampuan bank untuk menyalurkan kredit juga meningkat," kata Lana.

Menurut Lana, bank BUMN ke depannya tak hanya berhadapan dengan bank-bank domestik, tapi juga dengan bank-bank asing. Tantangan ini harus disikapi dengan upaya konsolidasi yang harus dilakukan oleh bank-bank BUMN.

"Dengan merger, bank Malaysia asetnya sudah mencapai 50 miliar dolar AS. Nah, perbankan kita belum mengarah ke sana. Ini yang harus didorong," ujar Lana.

Lana menambahkan, guna mewujudkan industri perbankan nasional dengan permodalan yang kuat dan berskala global dibutuhkan kemauan kuat dari pemerintah sebagai pemegang saham bank-bank BUMN mengingat hal tersebut merupakan kebutuhan menghadapi liberalisasi perbankan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2020.

"Persoalannya harus ada keinginan kuat dari pemerintah. Kalau ada penolakan, itu hal yang lazim," kata Lana.

Ia optimistis perekonomian nasional akan meningkat jika konsolidasi dilakukan. Dengan dilakukan konsolidasi perbankan, baik berupa merger atau pun akuisisi, akan tercipta efisiensi bank di segala bidang.

Lana mengatakan, tantangan perbankan nasional yang paling dekat saat ini adalah implementasi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Dengan konsolidasi, Indonesia dapat memiliki bank besar dan tidak hanya menjadi pasar bank-bank asing.

Menurut Lana, periode konsolidasi perbankan membutuhkan waktu yang cukup panjang, sehingga harus dimulai sekarang.

"Sederhananya, konsolidasi bank BUMN harus lebih dahulu dimulai, kan pemiliknya sama, yakni pemerintah," kata Lana.

Sementara itu, Chief Research and Strategy Network of Market Investor (NMI) Reagy Sukmana mendukung wacana konsolidasi perbankan nasional yang dimuali dari bank-bank BUMN.

"Hal ini akan mempengaruhi perekonomian nasional. Dengan perbankan yang kuat, permodalan bank otomatis akan terkena imbasnya. Seperti rencana pemerintahan Jokowi-JK yang akan menggenjot sektor pembangunan infrastruktur, itu kan membutuhkan biaya yang besar, dan yang dapat menyediakan pembiayaannya adalah perbankan yang memiliki modal besar," kata Reagy.

Dengan konsolidasi antar bank-BUMN, Indonesia akan memiliki bank kuat yang menopang pembangunan infrastruktur beserta turunannya. Selain itu, kucuran untuk kredit mikro akan menjadi lebih luas dan masif.

"Saat ini kita jelas kalah bersaing dengan bank-bank asing. Modal mereka kuat, sehingga kita menjadi target pasar yang empuk, bahkan dari BOPO (tingkat efisiensi) sendiri, perbankan kita sangat jauh di bawah mereka," ujar Reagy.

Oleh karena itu, ia mengusulkan agar dibentuk road map konsolidasi perbankan.

"Kita harus memiliki bank flag carrier yang dapat bersaing dengan bank asing. Itikad ini harus bermula dari bank-bank BUMN. Jelang MEA 2015, harus segera dipersiapkan," kata Reagy.

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2014